Jumat, 14 Januari 2011




ALL ABOUT TORAJA


Adapun proses umum dalam acara kematian dan Rambu Solo' adalah sebagai berikut :
1. Ma’dio’ Tomate yaitu orang yang baru mati lalu diberi pakaian kebesarannya dan perhiasan pusaka yang dihadiri oleh keluarga. Pada saat itu dipotong seekor kerbau atau babi bagi Tana’ Bulaan dan Tana’ Bassi, dan dagingnya dibagikan kepada keluarga yang hadir. Mulai saat itu sampai pelaksanaan upacara Rambu Solo' jenasah masih dianggap orang sakit atau To Makula’.
2. Ma’doya yaitu sebagai acara pertama dalam Rambu Solo' yang dikatakan Mangremba’ dengan sajian seekor ayam yang disembelih dengan memukulkan kepala ayam. Saat itu jenasah sudah dianggap orang mati atau Tomate
3.  Ma’balun yaitu jenasah dibungkus dengan kain kafan (Dibalun) karena baru dianggap sebagai orang mati. Bungkusan mayat berbentuk bulatan dan yang membungkus mayat adalah petugas khusus yang dinamakan To Mebalun atau To Ma’kayo
4.   Ma’bolong dimana secara resmi keluarga dinyatakan Maro’
5.  Meaa yaitu proses pengantaran jenasah ke liang kubur yang sejalan pula dengan Ma’palao sampai mayat dimasukkan de dalam liang yang disebut Ma’peliang.
6.  Kumande yaitu acara dimana orang Maro’ sudah boleh makan nasi. Rentetan acara Kumande ini adalah Ussolan Bombo atau manglekan.
7. Untoe Sero yaitu satu acara dengan kurban mengakhiri upacara Rambu Solo' dan dilakukan di liang yang maksudnya hubungan antara yang mati dengan orang hidup tidak ada lagi.
8. Membase (membersihkan) yaitu upacara dari keluarga yang baru selesai mengadakan Rambu Solo' dengan mengadakan kurban di atas Tongkonan yang maksudnya sudah lepas dari ritual Rambu Solo' dan sudah boleh melakukan Rambu Tuka'.
9.  Pembalikan Tomate, yaitu menempatklan arwah menjadi Tomembali Puang
Semua proses di atas adalah proses umum pada Rambu Solo' namun setiap daerah adat mempunyai cara atau penambahan tersendiri. Upacara khusus yang merupakan upacara yang tidak mengikat waktu dan keharusan adalah Ma’nene’ yaitu upacara peringatan arwah leluhur atau Tomembali Puang saat keluarga mendapat berkat. Upacara ini berbeda-beda untuk tiap daerah adat tetapi maksud dan tujuannya sama.

Umpoya angin (memukat angin) dan mangrambu tampak beluak (mengupacarakan sisa/ujung rambut) adalah upacara Rambu Solo' menurut Aluk Todolo tanpa jenazah tetapi hanya dengan membungkus angin atau ujung kuku / rambut. Ini dilakukan jika orang yang akan diupacarakan ternyata meninggal di luar daerah dan orang hanya membawa berita kematiannya atau hanya ujung rambut atau kukunya.
Menurut Aluk Todolo setiap orang yang mati harus diupacarakan agar arwahnya dapat diterima sebagai arwah yang baik di Puya dan dapat menjadi Tomembali Puang yang memperhatikan keturunannya.

Oleh karena kewajiban daripada arwah serta keyakinan dalam Aluk Todolo, maka orang yang mati di luar daerahnya dapat diupacarakan dengan cara yang wajar sesuai dengan cara tertentu, namun mayatnya tidak diketahui tempatnya. Upacara untuk orang demikian ada 2 yaitu

  1. Di poyan angin, yaitu jika seseorang yang meninggal dan jasadnya tidak didapatkan atau tidak diketahui dimana letak jenasahnya, sehingga tidak didapatkan ujung rambut atau ujung kukunya ataupun pakaiannya, terutama orang yang tenggelam di laut, hilang di dalam hutan, maka orang yang mati itu harus diupacarakan dengan Upacara Dipoyang Angin yaitu seluruh keluarga dari yang mati pergi ke puncak gunung dan membawa sebuah sarung yang baru untuk memukat angain dengan sarung tersebut.Cara memukat angin ini adalah salah satu ujung sarung diikat kemudian diarahkan ke arah datangnya angin. Angin yang membuat sarung menggembung akan ditangisi oleh perempuan dan segera para pria akan mengikat ujung yang masih terbuka sehingga sarung akan terisi angin yang menggembung.Pada saat itu diyakinkan bahwa nyawa dan roh dari yang mati telah masuk ke dalam sarung tadi, dimana kemudian sarung yang berisi angin tersebut dibawa ke Tongkonan untuk selanjutnya dibungkus menyerupai bundaran balun dan dianggap sebagai jenasah dari orang yang mati. Replika jenasah ini kemudian diupacarakan sesuai dengan kasta dari orang yang mati. Pada umumnya Upacara Dipoyan Angin dilaksanakan dengan upacara dipasangbongi namun dengan memotong kerbau lebih dari satu ekor dimana  kulit (balulang) salah satu kerbau yang dipotong itu tidak boleh dilepas tetapi diiris bersama dengan dagingnya.Kemudian Tominaa mengucapkan untaian kata dari atas menara daging (Bala’kayan Duku’) yang mengungkapkan kesetiaan dari keluarganya serta kematian dari si mati dan diyakini bahwa arwahnya dapat diterima dengan wajar di alam baka atau Puya
  2. Upacara Mangrambu Tampak Beluak, yaitu suatu upacara pemakaman dimana hanya ujung rambut atau kuku dan pakaian dari jenasah yang dibungkus, sedangkan jenasahnya dikuburkan jauh dari negerinya. Menurut keyakinan Aluk Todolo bahwa dengan adanya ujung rambut atau kuku, maka hal itu sama dengan jenasah aslinya dan diupacarakan sesuai dengan tingkatan kasta dari orang yang mati tersebut.Sering juga pihak keluarga pergi mengambil jenasah itu dengan menggali tulang belulang jenasah dan dibawa ke negerinya untuk diupacarakan. Pada saat menggali tulang belulang tersebut yang dinamakan Mangkaro batang Rabuk, maka harus diganti dengan menguburkan satu ekor hewan yang biasanya ayam atau babi.
Dengan memperhatikan pemakaman cara demikian di atas bahwa menurut keyakinan Aluk Todolo, setiap manusia harus diupacarakan kematiannya atau pemakamannya sekalipun jenasah tidak ada. Hal ini karena menurut Aluk Todolo, setelah manusia meninggal maka rohnya akan menjadi Tomembali Puang yang akan memberi berkat kepada keturunannya

Adat Ma’ Barata (pengurbanan manusia) pada upacara Rambu Solo’ yang masih berlaku sampai masuknya Pemerintah Kolonial Belanda, adalah salah satu adat yang diadakan sebagai penghormatan serta sebagai tanda kepahlawanan/keberanian dari seorang bangsawan atau pahlawan dalam perang Topadatindo dan perang saudara pada permulaan abad ke-17. adat Ma’ Barata Bulan bukanlah aluk dalam Aluk Todolo, tetapi hanya sebagai adat sehingga dilarang sejak masuknya Belanda.
Adat Ma’ Barata ini hanya sebagai :
1. Tanda penghormatan kepada seseorang pahlawan yang telah mempertahankan kedaulatan negerinya dan kehormatan keluarganya serta masyarakatnya.
2.      Tanda penghormatan kepada seseorang yang mati dalam peperangan terutana dalam perang saudara dahulu di Toraja.
3.      Tanda penghormatan kepada seseorang yang berjasa.
Adat Ma’ Barata ini hanya dilakukan pada upacara Rapasan, dan seorang yang menjadi kurban Barata diikat tangannya dan ditambatkan pada Simbuang Batu (batu tugu peringatan pada ups Rapasan yang berdiri di tengan Rante), menunggu saatnya dipancung. Kurban Barata ini boleh saja laki – laki atau wanita yang ditangkap saat perang atau jika tidak ada perang maka ditangkap dengan cara Mangaun (mengintip untuk menangkap) dari orang – orang yang telah disepakati oleh para Topadatindo. Menurut kesepakatan Topadatindo yang dipegang oleh penerusnya, yang menjadi korban Barata adalah tawanan dalam perang atau orang – orang yang tidak ikut dalam persatuan melawan Arung Palakka ( To Ribang La’bo’, To Simpo Mataran) yang berasal dari daerah Karunanga, suatu daerah yang terletak di bagian utara pegunungan Toraja. Orang – orang inilah yang selalu menjadi buronan pada setiap saat adanya rencana adat Barata, itupun melalui pertarungan karena orang yang diburu selalu mengadakan perlawanan dengan mati-matian.
Oleh karena sering terjadi perkelahian yang hebat dalam menangkap Kurban Barat, maka sering Kurban Barata itu tak dapat ditangkap dengan hidup-hidup dan kurbannya ditangkap dengan mati, terpaksalah hanya mengambil kepala dari pada kurban itu dan dibawah ketempat Upacara Pemakaman sebagai tanda bahwa orang yang mati ini sudah dikurbankan Manusia untuknya sebagai tanda peranannya dimasyarakat pada masa hidupnya. Orang yang diupacarakan dengan adanya Kurban Barata ini dinamakan To di Pa’barataan.
Saat ini masih ada tongkonan-tongkonan yang berkuasa di Tana Toraja yang menyimpan Kepala/tengkorak Manusia yaitu tengkorak manusia Kurban Barata atau kepala yang dirampas dalam perang saudara di Tana Toraja, sebagai tanda bahwa turunan dari tongkonan ini adalah turunan pemberani serta turunannya dahulu ada yang dimakamkan dengan upacara adat Barata dan Tongkonan itu merupakan Tongkonan Penguasa yang Pemberani

Entri BlogGotong Royong Cerminkan Siri' di TorajaNov 14, '08 3:09 AM
untuk
Kebudayaan lokal Tana Toraja tidak dapat dipisahkan dengan istilah Siri'. Bagi suku Toraja pada hakikatnya Siri' sama dengan harga diri sebagai manusia.
Istilah ini sering dihubungkan dengan penggarisan leluhur, Aluk Sola Pamali. Penggarisan ini menggambarkan jika seseorang yang tidak mempedulikan Siri Tuo atau Siri Mate artinya tidak menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, tidak menjunjung tinggi hakekat hidup dan kehidupan.
Hal ini dikemukakan Dosen Sastra Unhas, Prof Dr C Salombe, dalam sebuah buku berjudul Siri' dan Passe'. "Siri juga dijadikan pandangan hidup yang tersimpan dan ditemukan dalam mitos-mitos mereka. Seperti dalam nyanyian pujaan uang diucapkan seorang Tominaa (petugas ahli adat istiadat tradisional)," tambahnya.
Pandangan itu juga tertuang dalam upacara sukuran tradisional sebelum menyembelih hewan kurban, seperti dalam upacara pasomba tedong. Dalam upacara ini dijelaskan leluhur manusia, hewan, tumbuhan, dan benda alam liannya diciptakan sang puang matua dari dalam 'Sauan Sibarrung' (embusan kembar). "Setelah penciptaan itu, atas kehendak masing-masing dan direstui oleh Puang Matuang, maka leluhur hewan, tumbuhan, dan benda alam lainnya memilih jaln hidupnya sendiri-sendiri demi tanggungjawabnya terhadap kesejahteraan bersama," ujarnya.
Namun perpihan itu tidak membuat mereka tidak saling bekerjasama. Keberadaan dan kehadiran manusia, hewan, tumbuhan, dan benda alam lainnya ada untaian solidaritas gotong royong kekerabatan di antara mereka. Dalam kacamata pandangan hidup suku Toraja, solidarita itu dapat dikatakan sebagai semangat atau tindakan mengabdikan diri seutuhnya dan setulus-tulusnya kepada kesejahteraan bersama.
"Hal ini tergambar secara verbal dalam mitos Takkebuku leluhur padi. Kesadaran dan kesdiaan berkorban dengan tulus dan ikhlas untuk sesama harus dijunjung tinggi dan dilaksanakan sebagai sesuatu yang mutlak. Bahkan harus dipandang sebagai satu-satunya jalan hidup setiap makhluk demi kesejahteraan bersama," katanya.
Dari gambaran pandangan hidup masyarakat tradisional Toraja tersebut, harkat dan martabat seseorang dapat dilihat dan diukur dengan tingkat semangat dan usahanya. Menyatukan dirinya dengan untaian solidaritas gotong royong kekerabatan. "Rasa egoisme dapat terlihat jika seseorang acuh tak acuh terhadap jenazah seseorang anggota keluarga untuk menguburkan dengan wajar sesuai tradisi. Sifat ini mencerminkan seseorang tidak menjungjung tinggi harkat dan martabat, baik yang meninggal maupun keluarga, bahkan menjadi penghianat untaian solidaritas tersebut," jelasnya.
Jika siri' telah tertanam dalam diri pribadi seseorang, tambahnya, maka setiap ada keluarga yang meninggal dunia, semua masyarakat akan berbondong-bondong datang berbelasungkawa dan dan saling bergotong royong melaksanakan upacara penguburan jenazah. Saat penguburan pun akan terlihat kerjasama mengorbankan hewan dan harta benda yang mungkin akan terkesan pemborosan bagi orang lain.
Begitu pula saat terjadi hubungan seksual tidak sah, menikahi saudara kandung atau hubungan seksual antara orang tua dengan anaknya, juga termasuk melanggar siri'. Pelanggaran ini menunjukkan tidakan tidak setia dengan solidaritas gotong royong kekerabatan alam semesta dan rumpun keluarga sebagai satu ekosistem. "Dalam tradisi Tana Toraja, bagi orang yang tidak setia terhadap solidaritas itu akan mendapat hukuman berat. Seperti mebakas hangus para pelakunya atau menenggalmkannya ke dalam palung sungai. Bahkan membakar hewan atau pakaian para pelaku. Jika tidak dilakukan, menurut mereka, malapetaka akan melanda kampung mereka, baik bagi keluarga maupun kesejahteraan bersama," tutupnya. (Satriani)

Di kutip dari Ujung Pandang Express Online
http://ujungpandangekspres.com/view.php?id=21860

Arsitektur Tradisional, Warisan Budaya Lokal Sulsel
Opini Tribun
Oleh: Syahriar Tato, Ketua Badan Kerja Sama Kesenian Indonesia Sulawesi Selatan
Ragam hias ornamen pada rumah tradisional Bugis dan Makassar merupakan salah satu bagian tersendiri dari bentuk dan corak rumah tradisional Bugis dan Makassar. Selain berfungsi sebagai hiasan, juga dapat berfungsi sebagai simbol status pemilik rumah. Ragam hias umumnya memiliki pola dasar yang bersumber dari alam flora dan fauna.
MASYARAKAT tradisional Indonesia pada umumnya percaya akan adanya suatu tatanan, aturan tetap, yang mengatur segala apa yang terjadi di alam dunia yang dilakukan oleh manusia. Tatanan atau aturan itu bersifat stabil, selaras, dan keka. Aturan itu merupakan tatanan budaya sebagai sumber segala kemuliaan dan kebahagiaan manusia. Apapun yang dilakukan manusia harus sesuai atau selaras dalam tatanan kehidupan alam sekitarnya. Apabila tidak bertentangan dengan alam, niscaya hidupnya akan tenang dan damai. Yang menyimpang dari tatanan dan aturan merupakan "dosa" yang patut menerima sanksi atau hukuman.
Masa itu perbuatan manusia selalu berdimensi dua, dwimatra; yaitu mistik dan simbolik. Untuk megungkap kepercayaan akan makna hidup, manusia memakai tanda-tanda atau simbolik, dua macam tanda penting, pertama: Mitos asal, atau tafsir tentang makna hidup berdasarkan asal kejadian masa lalu. Kedua: Ritual upacara berupa perlakuan simbolis yang berfungsi untuk memulihkan harmoni tatanan alam dengan manusia, agar manusia terhindar dari malapetaka dan memberikan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupannya. Inilah dasar-dasar filosofi yang mengatur budaya masyarakat tradisional.
Pola pemikiran masyarakat tradisional pada umumnya hidup dalam budaya kosmologi. Awalnya, kehidupan manusia hanya terbatas pada kehidupan dirinya sendiri, egocentrum. Kemudian manusia mengembangkan dorongan naluri dan nalarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka kehidupan egocentrum akan menjadi bagian integral dari kehidupan habitat sekitarnya, yang diatur dalam sebuah tatanan budaya atau kebudayaan.
Masyarakat tradisional sering dianggap sebagai masyarakat yang hidup dalam suasana kepercayaan leluhur yang di pengaruhi oleh ethos budaya dan mempunyai sifat-sifat khusus, antara lain kekhususan itu ditandai dengan cara mempertahankan suasana hidup selaras, harmonis dan seimbang dengan kehidupan habitat sekitarnya. Keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya, pola hubungan antar manusia. Hubungan manusia dengan habitat sekitarnya didasarkan pada anggapan bahwa eksistensinya hidup dalam kosmos alam raya dipandang sebagai suatu tatanan yang teratur dan tersusun secara hirarkis dalam sebuah tatanan budaya yang terjaga.
Ketika kita bicara tentang kebudayaan, maka arsitektur adalah salah satu hasil karya seni budaya bangsa. Keterkaitan hubungan antara kebudayaan dan arsitektur tergambar pada telahan masing -masing unsurnya. Telaah arsitektur pada umumnya berpijak pada unsur-unsur konsep, cara membangun dan wujud nyata dari bangunan sebagai lingkungan buatan dalam lingkungan sekitarnya. Telaahan kebudayaan selalu berpijak pada unsur-unsur buah pikiran ide, perbuatan, sikap dan prilaku behavior serta hasil karya seni artefak. Arsitektur sebagai hasil karya seni budaya diakui sebagai salah satu wujud kebudayaan yang menjadi bayangan cerminan dari kehidupan manusianya, dari masa ke masa.
Arsitektur sebagai unsur kebudayaan merupakan salah satu bentuk bahasa nonverbal manusia, alat komunikasi manusia nonverbal ini mempunyai nuansa sastrawi dan tidak jauh berbeda dengan sastra verbal. Arsitektur itu sendiri dapat dipahami melalui wacana keindahan, sebab dari sanalah akan muncul karakteristiknya. Dalam naskah kuno sastra jawa dan kitab lontara Bugis Makassar dapat ditemukan hubungan relevansi antara lingkungan kehidupan budaya manusia dengan rumah adat yang diciptakannya.
Dalam masyarakat tradisional Sulawesi Selatan, segala sesuatu yang menyangkut kehidupan masyarakat dilakukan menurut adat istiadat, dengan demikian adat menjadi semacam pedoman dalam bertindak yang menguasai pola kehidupan masyarakat, baik dalam tingkah laku, maupun dalam tata cara membangun rumah di dalam lingkungan alam sekitarnya.
Tata cara pembuatan rumah dalam konsep arsitektur tradisional biasanya merujuk pesan, wasiat yang bersumber dari kepercayaan yang dianut, mulai dari pemilihan tempat, bentuk arsitekturnya, upacara ritual ketika membangun, sampai pada penentuan arah perletakan rumah.
Secara konsepsual arsitektur, masyarakat tradisional Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar) berangkat dari suatu pandangan hidup ontologis, memahami alam semesta secara universal. Filosofi hidup masyarakat tradisional Bugis Makassar yang disebut sulapa appa, menunjukkan upaya untuk menyempurnakan diri, filosofi ini menyatakan bahwa segala aspek kehidupan manusia barulah sempurna jika berbentuk segi empat, yang merupakan mitos asal kejadian manusia yang terdiri dari empat unsur, yaitu: tanah, air, api, dan angin.
Bagi masyarakat tradisional Bugis Makassar yang berpikir secara fotolitas, rumah tradisional Bugis Makassar dipengaruhi oleh: Struktur kosmos, di mana alam terbagi atas tiga bagian yaitu alam atas sebagai tempat suci, alam tengah, sebagai tempat berlangsungnya kehidupan manusia, dan alam bawah, tempat terjadinya interaksi dengan lingkungan sekitar dan makhluk hidup lainnya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam prosesi mendirikan rumah antara lain: meminta pertimbangan dari panrita bola untuk mencari tempat dan arah yang dianggap baik. Beberapa wasiat dalam hal menentukan arah rumah yaitu: sebaiknya menghadap kearah terbitnya matahari, menghadap kedataran tinggi, dan menghadap ke salah satu arah mata angin.
Selain itu salah satu faktor pertimbangan lain yang perlu diperhitungkan adalah pemilihan waktu untuk mendirikan rumah. Adapun hari ataupun bulan yang baik biasanya ditentukan atas bantuan orang-orang yang memiliki kepandaian dalam hal memilih waktu.
Untuk pendirian rumah, biasanya didahului oleh upacara ritual, yang pada tahap selanjutnya secara berurutan mulai mendirikan rumah dengan mengerjakan tiang pusat rumah (posi'bola) terlebih dahulu, menyusul tiang tiang yang lain, hingga pekerjaan secara keseluruhan selesai dikerjakan.
Seperti kebanyakan rumah tradisional di Indonesia, rumah Bugis Makassar juga dipengaruhi oleh adanya strata sosial penghuninya. Rumah tradisional Bugis Makassar pada dasarnya terdiri dari beberapa macam yaitu:
1. Rumah Kaum Bangsawan Arung atau Karaeng. Untuk rumah bangsawan yang memegang jabatan, pada puncak rumah induk terdiri dari tiga atau lebih sambulayang /timpalaja. Jumlah tiang ke samping dan ke belakang 5 - 6 buah, sedang untuk bangsawan biasa jumlah tiang ke samping dan ke belakang 4 -5 tiang. 2. Rumah Orang Kebanyakan Tosama, terdiri dari 4 buah tiang kesamping dan kebelakang, puncak sambulayang/timpalaja hanya dua susun. 3. Rumah Hamba Sahaja Ata atau Suro, bentuk dengan ukuran yang lebih kecil, biasanya hanya tiga petak, dengan sambulayang/timpalaja yang polos. Pada umumnya rumah tradisional Bugis Makassar berbentuk panggung dengan penyangga dari tiang yang secara vertikal terdiri atas tiga bagian yaitu: Rakkeang/Pammakkang, terletak pada bagian atas, di sini melekat plafond tempat atap menaungi, penyimpanan padi sebagai lambang kehidupan dan tempat atribut adat disimpan.
Ale bola/kale balla, terletak pada bagian tengah, di mana sebuah tiang ditonjolkan di antara tiang tiang lainnya, yang terbagi atas beberapa petak dengan fungsinya masing-masing. Awaso/siring, terletak pada bagian bawah, sebagai tempat penyimpanan alat cocok tanam, ternak, alat bertukang dan lain lain. Sedang secara horisontal ruangan dalam rumah terbagi atas tiga bagian yaitu: Lontang ri saliweng/padaserang dallekang, letaknya di ruang bahagian depan. Lontang ri tengnga/padaserang tangnga, terletak di ruang bahagian tengah. Lontang ri laleng /padaserang riboko, terletak di ruang bahagian belakang.
Selain ruang ruang tersebut, masih ada lagi tambahan di bagian belakang annasuang atau appalluang, dan ruang samping yang memanjang pada bagian samping yang disebut tamping, serta ruang kecil di depan rumah yang disebut lego-lego atau paladang.
Ragam hias ornamen pada rumah tradisional Bugis dan Makassar merupakan salah satu bagian tersendiri dari bentuk dan corak rumah tradisional Bugis dan Makassar. Selain berfungsi sebagai hiasan, juga dapat berfungsi sebagai simbol status pemilik rumah. Ragam hias umumnya memiliki pola dasar yang bersumber dari alam flora dan fauna.
Ornamen corak tumbuhan, umumnya bermotifkan bunga/kembang, daun yang memiliki arti rejeki yang tidak putus putusnya, seperti menjalarnya bunga itu, di samping motif yang lainnya. Ornamen corak binatang, umumnya bentuk yang sering ditemukan adalah: kepala kerbau yang disimbolkan sebagai bumi yang subur, penunjuk jalan, bintang tunggangan dan status sosial. Bentuk naga yang diartikan simbol wanita yang sifatnya lemah lembut, kekuatan yang dahsyat. Bentuk ayam jantan yang diartikan sebagai keuletan dan keberanian, agar kehidupan dalam rumah senantiasa dalam keadaan baik dan membawa keberuntungan.
Ornamen corak alam, umumnya bermotifkan kaligrafi dari kebudayaan Islam. Penempatan ragam hias ornamen tersebut pada sambulayang/timpalaja, jendela, anjong, dan lain-lain. Penggunaan ragam hias ornamen tersebut menandakan bahwa derajat penghuninya tinggi.
Masyarakat tradisional Tana Toraja di dalam membangun rumah tradisionalnya mengacu pada kearifan budaya lokal (kosmologi) yaitu: Konsep pusar atau pusat rumah sebagai paduan antara kosmologi dan simbolisme. Dalam perspektif kosmologi, rumah merupakan mikrokosmos, bagian dari lingkungan makrokosmos. Pusat rumah meraga sebagai perapian di tengah rumah, ataupun atap menjulang menaungi ruang tengah rumah dan atap menyatu dengan father sky. Pusat rumah juga meraga sebagai tiang utama, seperti a'riri possi di Toraja, possi bola di Bugis, pocci balla di Makassar dan tiang menyatu dengan mother earth.
Pada masyarakat tradisional Toraja, dalam kehidupannya juga mengenal filosofi Aluk A'pa Oto'na yaitu empat dasar pandangan hidup: Kehidupan manusia, kehidupan alam leluhur Todolo, kemuliaan Tuhan, adat dan kebudayaan. Keempat filosofi ini menjadi dasar terbentuknya denah rumah toraja empat persegi panjang dengan dibatasi dinding yang melambangkan badan atau kekuasaan. Dalam kehidupan masyarakat toraja lebih percaya akan kekuatan sendiri, egocentrum. Hal ini yang tercermin pada konsep arsitektur rumah mereka dengan ruang-ruang agak tertutup dengan bukaan yang sempit.
Selain itu konsep arsitektur tradisional Toraja, banyak dipengaruhi oleh ethos budaya simuane tallang atau filosofi harmonisasi dua belahan bambu yang saling terselungkup sebagaimana cara pemasangan belahan bambu pada atap rumah adat dan lumbung. Harmonisasi didapati dalam konsep arsitektur tongkonan yang menginteraksikan secara keseluruhan komponen tongkonan seperti: rumah, lumbung, sawah, kombong, rante dan liang, di dalam satu sistem kehidupan dan penghidupan orang Toraja didalam area tongkonan. Selain itu, makro dan mikro kosmos tetap terpelihara didalam tatanan kehidupan masyarakat tradisional Toraja, dimana rumah dianggap sebagai mikro kosmos.
Tata letak rumah tongkonan berorientasi utara-selatan, bagian depan rumah harus berorientasi utara atau arah Puang Matua Ulunna langi dan bagian belakang rumah ke selatan atau arah tempat roh-roh Pollo'na Langi. Sedangkan kedua arah mata angin lainnya mempunyai arti kehidupan dan pemeliharaan, pada arah timur di mana para dea "dewata" memelihara dunia beserta isinya ciptaan Puang Mutua untuk memberi kehidupan bagi manusia, dan arah barat adalah tempat bersemayam To Membali Puang atau tempat para leluhur todolo. Atau selalu ada keseimbangan hidup di dunia dan akhirat. Kesemuanya ini diterjemahkan menjadi satu kata sederhana yaitu keseimbangan dan secara arsitektural keseimbangan selalu diaplikasikan ke dalam bentuk simetris pada bangunan. Dari sini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa prinsip dasar arsitektur tradisional Toraja adalah simetris, keterikatan, dan berorientasi.
Tongkonan.
Tongkonan, rumah adat Toraja adalah bangunan yang sangat besar artinya, karena peranannya yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Toraja. Tongkonan dalam fungsinya terbagi menjadi 4 macam tingkatan yaitu: Tongkonan layuk, kedudukannya sebagai rumah tempat membuat peraturan adat istiadat. Tongkonan pokamberan/pokaindoran, yaitu rumah adat yang merupakan tempat melaksanakan aturan dan perintah adat dalam suatu masalah daerah. Tongkonan batu a'riri, yaitu tongkonan yang tidak mempunyai peranan dan fungsi sebagai tempat persatuan dan pembinaan keluarga dari keturunan pertama tongkonan itu, serta tempat pembinaan warisan, jadi mempunyai arti sebagai tiang batu keluarga.
Tongkonan Pa'rapuan, fungsinya sama dengan tongkonan batu a'riri tetapi semua bangunan rumah adat Toraja mempunyai peranan dan fungsi tertentu, fungsi fungsi tersebut tidak akan berubah sepanjang letak dari bangunan itu tidak berubah yaitu atap menghadap keutara sebagai orientasi bangunan. Faktor inilah yang menyebabkan konstruksi dan arsitektur bangunan tetap sebagai dasar perancangan tongkonan, karena adanya hubungan pandangan keyakinan yang kuat dan tidak dapat dipisahkan dari bangunan.
Bagian bagian dari rumah adat Toraja pulalah yang menentukan struktur arsitekturnya antara lain, rumah adat Toraja dibagi atas dua bagian besar yaitu dengan menarik garis besar dari utara ke selatan yang dibedakan dengan nama Kale banua matallo dan Kale banua matumpu' yaitu bagian rumah sebelah timur dan bagian rumah sebelah barat. Perkembangan arsitektur tradisional dipengaruhi oleh banyak faktor seperti: waktu, pengaruh budaya luar, pola hidup, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Dari masa lampau hingga masa kini ada empat masa perkembangannya yang dapat ditelusuri yaitu: Masa arsitektur tradisional, masa arsitektur klassik, masa arsitektur modern, serta masa arsitektur post modern. Masa arsitektur tradisional: pada masa ini budaya asli dan pola hidup masyarakat tradisional berkembang didalam masyarakat tanpa ada pengaruh luar, Arsitektur Tradisional merupakan pilihan satu satunya. Secara tradisi, bangunan hanya berfungsi sebagai rumah tinggal ataupun sebagai tempat bermukim keluarga.
Arsitektur tradisional sangat dipengaruhi oleh keadaan dan potensi alam sekitarnya yang menjadi motif utama pemberi corak arsitektur tradisional. Terutama pengaruh iklim, curah hujan, tumbuh-tumbuhan yang dipakai sebagai bahan bangunan dan batu batuan. Arsitektur tradisional Toraja misalnya, mempunyai sudut kemiringan atap yang tajam karena curah hujan besar. Bambu dipakai sebagai atap dan plafound karena hutan bambu banyak di Tana Toraja, begitupun halnya bahan kayu yang dipakai sebagai tiang dan dinding. Perihal ragam hias ornamen yang didapati banyak memberi warna arsitektur tradisional Sulawesi Selatan, dipakai menghiasi dinding dan tiang sesuai tradisi masing masing etnis. Ornamen dipakai sebagai ungkapan arti simbol simbol suatu benda yang dianggap mempunyai arti dalam penghidupan dan kehidupan masyarakat tradisional etnis bersangkutan.
Gaya arsitektur tradisional yang beranekaragam di Indonesia diperkirakan akan menjadi sumber inspirasi utama dalam gaya post-modern ini. Beberapa arsitektur modern masa kini dirancang dan dibangun dengan mengawinkannya dengan unsur-unsur arsitektur tradisional, tetapi terkadang unsur tradisional itu sendiri, manjadi rancu akibat dari perbedaan prinsip dasar, filosofi, konsep, aktifitas, bentuk, dan bahan bangunan. Masalah lain akan timbul bila dua macam atau lebih arsitektur tradisional yang berbeda disatukan di dalam satu gubahan arsitektur, seperti Toraja dengan Bugis, Toraja dengan Bali, Toraja dengan Jawa, dan kombinasi lainnya. Meskipun demikian arsitektur tradisional masih memiliki dan menampilkan persamaan yaitu: unsur vertikal dan horisontal. Bahkan kedua unsur ini dpat ditemukan pada seluruh arsitektur tradisional di Indonesia.

Dikutip dari Tribun Timur
SMS www.tribun-timur.com di 081.625.2233
email: tribuntimurcom@yahoo.com
Hotline SMS untuk berlangganan koran Tribun
Timur, Makassar (edisi cetak) : 081.625.2266.
Telepon: 0411 (8115555) (***)

Entri BlogSINGGI'NA PASSIKOLANov 14, '08 2:46 AM
untuk
To ullando lalanni panoto ba’tang
To ullangka pa’taunanni papatu inawa
Mana’ matontongan
Tu tang na kande ta’ga’
Tang tileluk tu inanna
Kamanarangan pa’gantiananna

To manarang umpoya kumman
To pande ussangkala kutu manuk

To manarang untandai simpona manuk
To pande umbille ubanna kayu bulan
Sia tang keisinna burinti

To manarang umpeninnik tengkana bulan dao ba’tangna langi’
To pande umpemasangla’ lingkana sulo bongi lan Masuanggana to Palullungan
Iamo to digente’ to manarang umbita’ – bitaranni bintoen tasak
To pande umpeninnik asi-asi malillin To manarang pa’gantiananna

Kurre Sumanga’na langngan Puang Matua dao Ba’tangna Langi’
Sampa’ Parayanna langngan masuanggana To Palullungan
Belanna lindomo inde anggenna to bu’tu lan mai Tondok Lepongan Bulan
Tasikmo batu rupanna inde to tiumba’ lan mai Tana Matarik Allo

Lako anggenna to nataranak Kombongan Kalua’na Sangtorayan lan di Unhas kukua mati’ ma’kada :
Lado lalanniko panoto ba’tang tu tang na kande ta’ga
Langka pa’taunanniko papatu inawa tu tangtileluk inanna
Denna sia upa ammu manarang umpoya kumman
Ammu pande ussangkala kutu manuk
Ammu manarang untandai simpona manuk
Ammu pande umbille ubanna kayu bulan sia tang keisinna burinti
Ammu manarang umpeninnik tengkana bulan dao ba’tangna langi’
Ammu pande umpemasangla’ lingkana sulo bongi lan masuanggana To Palullungan
Ammu manarang umbita’-bitaranni bintoen tasak
Ammu pande umpeninnik asi – asi malillin

Adapun tingkatan upacara Rambu Tuka' dari yang terendah sampai yang tertinggi adalah sebagai berikut :
1) Kapuran Pangngan yaitu suatu cara dengan hanya menyajikan Sirih Pinang sementara menghajatkan sesuatu yang kelak akan dilaksanakan dengan kurban – kurban persembahan.
2)   Piong Sanglampa, yaitu suatu cara dengan menyajikan satu batang lemang dalam bambu dan disajikan di suatu tempat atau padang/pematang atau persimpangan jalan yang maksudnya sebagai tanda bahwa dalam waktu yang dekat manusia akan mengadakan kurban persembahan.
3)  Ma’pallin atau Manglika’ Biang, yaitu suatu cara dengan kurban persembahan satu ekor ayam yang maksudnya mengakui semua kekurangan dan ketidaksempurnaan manusia yang akan melakukan kurban persembahan selanjutnya.
4)    Ma’tadoran atau Menammu, yaitu suatu cara dengan mengadakan kurban persembahan satu ekor ayam atau seekor babi yang ditujukan kepada pemujaan Deata – Deata terutama bagi Deata yang menguasai daerah tempat mengadakan kurban persembahan itu. Ma’tadoran juga dilakukan jika melaksanakan upacara Pengakuan Dosa yang disebut Mangaku–aku.
5)    Ma’pakande Deata do Banua (mengadakan kurban persembahan di atas Tongkonan). Nama Upacara ini berbeda di tiap daerah adat tetapi pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu dengan kurban persembahan seekor babi atau lebih sesuai dengan ketentuan dari masing-masing daerah adat. Uapcara ini dilaksanakan di atas Tongkonan karena Tongkonan sebagai tempat hidup manusia yang mengadakan kurban persembahan dan tujuannya memohon berkat atau bersyukur atas kehidupan dari Sang Pemelihara atau Deata-Deata dan juga sebagai tempat menghajatkan kurban persembahan. Ada daerah adat yang menyebut upacara ini sebagai Ma’parekke Para.
6) Ma’pakande Deata diong padang (mengadakan upacara di halaman Tongkonan), yaitu upacara kurban seekor babi atau lebih yang dilaksanakan di halaman Tongkonan dari orang  yang mengadakan upacara. Tujuan upacara ini adalah memohon kepada Deata-Deata supaya memberkati seluruh tempat atau Tongkonan tempat orang merencanakan dan mengusahakan kurban persembahan seterusnya serta tempat mendirikan Tongkonan. Ada daerah adat yang menamakannya sebagai Ma’tete Ao’.
7) Massura’ Tallang adalah upacara yang dilaksanakan setelah selesai melaksanakan tingkatan upacara yang lebih rendah seperti tersebut di atas. Upacara ini dilaksanakan di depan Tongkonan agak sebelah timur. Upacara Massura’ Tallang merupakan upacara persembahan paling tinggi kepada Deata-Deata sebagai Sang Pemelihara dengan kurban beberapa ekor babi, dimana sebagian untuk persembahan dan sebagian lagi untuk dibagikan menurut adat kepada masyarakat dan orang yang menghadiri upacara tersebut utamanya kepada petugas adat dan agama Aluk Todolo. Upacara Massura’ Tallang ini dapat dilakukan oleh seluruh keluarga dari satu rumpun keluarga atau boleh juga satu keluarga dalam mensyukuri kebahagiaan keluarga itu, dimana dalam pembacaan Doa dan Mantra Sajian Kurban telah diungkapkan pula keagungan dan kebesaran Puang Matua. Oleh karena itu, upacara Massura’ Tallang berfungsi sebagai upacara pengucapan syukur karena keberkatan dan upacara penahbisan atau pelantikan arwah leluhur yang diupacarakan dengan upacara pemakaman Dibatang atau Didoya Tedong. Dengan selesainya upacara ini, maka arwah dari leluhur secara resmi menjadi Setengah Deata yang disebut Tomembali Puang (Sang Pengawas atau Pemberi Berkat manusia turunannya). Upacara demikian disebut Manganta’ Pembalikan Tomate, dan disebut demikian karena pada upacara ini diaturkan dekorasi hias bermacam-macam pakaian dan perhiasan sebagai lambang dan perlengkapan hidup dari sang leluhur di alam baka.
8) Merok, yaitu upacara pemujaan kepada Puang Matua sebagai upacara pemujaan yang tinggi dengan kurban Kerbau, Babi dan ayam. Pada upacara ini nama Puang Matua yang selalu jadi pokok ungkapan dalam pembacaan mantra dan doa. Kerbau yang dikurbankan pada upacara Merok ini adalah kerbau hitam (Tedong Pudu’), karena tidak boleh menyajikan kurban kerbau yang memiliki bintik putih yang dianggap sebagai kerbau yang cacat. Sebelum kerbau ini dikurbankan dengan menggunakan Tombak (Dirok), terlebih dulu kerbau ini Disurak (didoakan dalam suatu ungkapan hymne yang isinya menceritakan kemuliaan Puang Matua dan segala ciptaannya serta kehidupan manusia dan mengutuk pula perbuatan yang tidak baik dari manusia yang disyaratkan dengan pernyataan melalui kurban kerbau tersebut). Dan pelaksanaan pembacaan hymne semalam suntuk oleh Tominaa disebut Massurak Tedong atau Massomba Tedong, yang mana dalam Massomba Tedong ini diungkapkan tujuan dari keluarga mengadakan upacara Merok.
Adapun maksud dari upacara Merok ini adalah :
-       Merok karena keberkatan
-   Merok untuk pelantikan atau peresmian arwah seorang leluhur menjadi Tomembali Puang yang upacara pemakamannya dilakukan dengan upacara Rapasan oleh Kasta Tana’ Bulaan. Upacara ini disebut Merok Pembalikan Tomate.
-  Merok dalam hubungan dengan selesainya pembangunan Tongkonan yang disebut Merok Mangrara Banua, dan upacara ini hanya bagi Tongkonan yang berkuasa seperti Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pesio’ Aluk. Pada upacara ini banyak babi yang dikurbankan yang sebagian dibagikan secara adat. Ada beberapa daerah adat yang menyebut upacara ini dengan Ma’bate.
9)  Ma’bua’ atau La’pa, yaitu suatu tingkatan upacara Rambu Tuka' yang paling tinggi dalam Aluk Todolo. Upacara ini dilaksanakan setelah menyelesaikan semua upacara-upacara yang terbengkalai oleh keluarga atau daerah yang mengadakan upacara Ma’bua’ tersebut. Hal ini karena upacara Ma’bua’ adalah upacara untuk mengakhiri seluruh upacara apapun dalam mensyukuri seluruh kehidupan dan mengharapkan berkat serta perlindungan dari Puang Matua, Deata-deata, dan Tomembali Puang.
Upacara Ma’bua’ juga sebagai ungkapan syukur atas hewan ternak, tanaman dan kehidupan manusia. Pada upacara Ma’bua’ atau La’pa, Puang Matua dipuja dan dieluk-elukkan dengan beragam lagu dan tari yang memang khusus diadakan untuk upacara Ma’bua’ tersebut.
Pada upacara Ma’bua’ diadakan kurban persembahan kerbau sebagai kurban persembahan utama yang jumlahnya bermacam-macam menurut ketentuan Lesoan Aluk Tananan Bua’ tergantung pada masing-masing daerah adat atau tergantung pada kemampuan keluarga. Ada kalanya Ma’bua’ ini diikuti oleh satu daerah adat atau kelompok adat jika upacara ini menyangkut seluruh masyarakat satu daerah serta keselamatan seluruh kehidupan dan disebut sebagai Bua’ kasalle atau La’pa Kasalle (Bua’=perbuatan, la’pa=kelepasan, kasalle=besar).
Upacara Ma’bua’ ini adalah pusat dari semua upacara serta puncak dari semua upacara dalam Aluk Todolo yang juga merupakan dasar pembagian daerah adat Tondok Lepongan Bulan menjadi 3 daerah adat besar berdasarkan Lesoan aluk tananan Bua’.

KELEMBAGAAN MASYARAKAT ADAT DESA 

DI TANA TORAJA – SULAWESI SELATAN

Oleh : Den Upa Rombelayuk

Pendahuluan 
Kedaulatan komunitas masyarakat asli yang tersebar di seluruh Nusantara sudah ada sejak ribuan tahun bahkan kalau boleh dikatakan sejak manusia mendiami bumi persada ini. Kehadiran manusia dalam bentuk komunitas telah ada, serta melangsungkan aktivitas-aktivitas sosial kemasyarakatan di seluruh Nusantara dari waktu ke waktu atau generasi ke generasi. Melalui proses jangka waktu yang sangat panjang terjadi interaksi sosial antar anggota komunitas serta interaksi dengan lingkungan fisiknya secara runtut dan melembaga sedemikian rupa, sehingga terbangun suatu satuan kemasyarakatan yang mandiri yang mempunyai sistem nilai tersendiri dengan perangkat hukumnya yang dibangun oleh komunitas itu sendiri. Komunitas tersebut mandiri dan berdaulat dalam arti kemampuan keberadaan komunitas melalui proses sosialisasi nilai dan tradisi yang dilakukan dari generasi ke generasi.
II. Kelembagaan Adat
Proses perkembangan serta pola interaksi sosial baik antar anggota komunitas maupun antar komunitas dapat mengancam kemandirian atau eksistensi kedaulatan komunitas itu sendiri. Reaktualita dalam menghadapi situasi perubahan dibutuhkan suatu pengorganisasian agar fungsi-fungsi politik, ekonomi dan hukum dapat berjalan sebagai pilar kemandirian atau kedaulatan. Fungsi-fungsi tersebut perlu diemban dan dikawal oleh satu organisasi yang dibangun dan disepakati oleh masyarakat melalui kontak sosial atau kesepakatan melalui musyawarah yang awalnya merupakan embrio dari kelembagaan adat dalam komunitas atau yang lazim di sebut Masyarakat Adat.
Keberadaan lembaga adat dalam Komunitas harus diakui dan diterima oleh seluruh anggota komunitas yang memungkinkan adat-istiadat serta tradisi semakin mapan serta tumbuh berkembang secara dinamis dalam menghadapi perubahan dari waktu ke waktu. Silsilah tersebut diakui dengan sejarah dan peristiwa dari waktu ke waktu khususnya Tongkonan yang berfungsi sampai kepada masa kini.
Identifikasi melalui silsilah serta sejarah perkembangan tiap lembaga adat atau komunitas dalam mempertahankan eksistensinya dapat ditelusuri sehingga merupakan kebanggaan setiap insan Toraja. Bermacam-macam sejarah dengan versi masing-masing baik dalam dongeng rakyat, atau sajak yang diucapkan dalam bahasa tinggi (Kada Tomina) dapat dibuktikan keberadaannya sampai sekarang dalam bentuk budaya adat-istiadat dan upacara-upacara adat. Penamaan Komunitas dengan Tongkonan atau Lembaga adat selamanya dikaitkan dengan nama lokasi atau tanah tempat bermukim.

III. Basse Atau Kontrak Sosial

Bangunan yang dibuat oleh masyarakat sebagai upaya pemberdayaan komunitas dalam mempertahankan kedaulatannya yang lazim disebut Lembaga Adat. Lembaga tersebut sebagai wadah musyawarah untuk membuat aturan-aturan adat yang dipimpin oleh seorang Pemangku Adat. Oleh karena pada asasnya jiwa demokrasi dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat adat diwujudkan dalam bentuk musyawarah yang demokratis (Tudang Sipulung Bugis, Kombongan Toraja).
Pada prinsipnya di setiap komunitas asli atau masyarakat adat bangunan kelembagaan dengan perangkatnya diangkat dan disetujui oleh masyarakat melalui suatu perjanjian untuk menjamin kedemokrasiaan dan kepentingan umum yang diwujudkan melalui suatu upacara yang bermakna sebagai sumpah/kontrak sosial (Basse). Umumnya dalam komunitas tersebut setiap kesepakatan harus diresmikan atau dilegitimasi melalui upacara adat yang maknanya sebagai kontraksosial yang mengikat dengan sanksi sehingga oleh masyarakat Sulawesi Selatan khususnya Toraja disebut sebagai Basse.
Adanya Pemangku Adat dengan konsekuensi terciptanya birokrasi dalam komunitas dapat merupakan ancaman terhadap nilai demokrasi komunitas terutama dalam pengambilan keputusan. Sepanjang pengetahuan kami awal bangunan atau pembentukan dalam perjalanan antar waktu terjadi pergeseran nilai yang menyebabkan kepemimpinan dipertahankan dalam komunitas melalui memfungsikan atau melembagakan musyawarah disepakati. Melembagakan musyawarah dan Basse dalam masyarakat atau komunitas merupakan pilar demokrasi yang sekaligus mengawal keberlangsungan hidup komunitas itu sendiri dalam mengadapi berbagai macam perubahan atau ancaman.

IV. Aspek Kesejarahan

Tondok lepongan bulan tana matari allo artinya Negeri sebulat bulan purnama, tanah yang bersinar bagaikan matahari yang terletak dipegunungan bagian tengah Sulawesi didiami oleh berbagai komunitas yang berasal dari satu usul keturunan. Salah satu suku tersebut adalah Toraja.
Toraja sebagai studi kasus karena merupakan salah satu suku tertua dan mempunyai sejarah yang dapat diindentifikasi mulai dari awal sampai sekarang. Sejarah adalah suatu cerita dari realitas masa lampau atau dengan kata lain sebagai upaya menyusun gambar tentang kejadian masa lalu yang punya kaitan sampai kini. Bukti yang dapat ditelusuri adalah bahwa setiap orang Toraja dapat menyelusuri silsilahnya dari 19 generasi bahkan ada yang dapat menelusuri mulai dari Banua Puan atau dari Puang Tamboro Langi.
Silsilah tersebut diikuti dengan sejarah dan peristiwa dari waktu ke waktu khususnya Tongkonan yang berfungsi sampai kepada masa kini.
Indentifikasi melalui silsilah serta sejarah perkembangan tiap lembaga adat atau komunitas dalam mempertahankan eksistensinya dapat ditelusuri sehingga merupakan kebanggaan setiap insan Toraja. Bermacam-macam sejarah dengan versi masing-masing baik dalam dongen rakyat, atau sajak yang diucapkan dalam bahasa tinggi (kada Tominaa) dapat dibuktikan keberadaannya sampai sekarang dalam bentuk budaya adat-istiadat dan upacara adat. Sebagai suku menetap, maka sejarah suku asli khususnya Toraja mempunyai kaitan dengan ekosistem alamnya yang menghasilkan budaya serta mempengaruhi aturan-aturan adat. Penamaan komunitas dengan Tongkonan atau lembaga adat selamanya dikaitkan dengan nama lokasi atau tana tempat bermukim.

V.  Legenda To Lembang 

Sebagai suku yang tertua nenek moyang suku-suku di Sulawesi bagian Selatan dan Tengah dapat dimulai dari sebuah Legenda To Lembang artinya orang perahu. Ribuan tahun yang lalu datanglah sekelompok manusia dalam beberapa perahu dan mendarat di sebuah pantai bernama Bungin sekarang di daerah Kab. Pinrang. Setelah mendarat mereka berupaya mencari tempat ketinggian dan akhirnya sampai ke suatu tempat bernama Rura di kaki Gunung Bamba Puang sekarang termasuk Kec. Alla Kab. Enrekang.
Di tempat tersebut mereka membangun permukiman namun polanya mengikuti bentuk dan struktur yang diwarisi semasih berada di atas perahu. Sehingga terbentuk komunitas-komunitas yang warganya berdasarkan para penghuni di masing-masing perahu. Inilah komunitas pertama yang dinamakan To Lembang (orang perahu). Pembagian kerja serta tanggung jawab diatur mengikuti semasih mereka berada berada di perahu seperti To Bendan  Paloloan (Jurangan), To Massuka (Juru Masak), Bunga Lalan (Juru Batu) dan Takinan Labo (Pasukan). Oleh karena itu bentuk rumah Toraja menyerupai perahu dan selamanya menghadap dari selatan ke utara.
1.  Visi To Lembang dan Aluksanda Pitunna
Ada 2 (dua) prinsip dasar yang mengatur tata kehidupan To Lembang yaitu :
  1. Hubungan antar manusia yang dinamakan Penggarontosan
  2. Hubungan manusia dengan sumberdaya alam yaitu Aluk Sanda Pitunna atau Tallu Lolona.
a. Visi Hubungan Penggarontosan yaitu :
  1. Misa ada dipotuo pantan kada dipomate (bersatu kita teguh bercerai kita mati)
  2. Sipakaele, disirapai (saling menghargai dan musyawarah)
  3. Hidup bagaikan ikan masapi (hidup bersama bagaikan ikan dan air yang saling membutuhkan).
  b.    Visi Tallu Lolona Aluksanda
Konon To Lembang dari daerah asalnya dibekali aturan yang dinamakan Aluksanda Pitunna, aturan yang mengatur hubungan manusia dengan sumberdaya alamnya serta manusia dengan dalam komunitas (Sang Lembang). Filosofi Aluk Sanda Pitunna adalah “Tallu Lolona,” artinya bahwa di atas bumi persada terdapat 3 (tiga) unsur kehidupan yang tumbuh dan berkembang biak, saling hidup-menghidupi yaitu :
  1. Lolo Tau (manusia)
  2. Lolo Patuoan (hewan) dan;
  3. Lolo Tananan (tumbuhan)
Ketiga unsur ini saling berkaitan yang diatur melalui Aluk Sanda Pitunna.

VI.  Penyebaran Komunitas To Lembang Ke Seluruh Sulawesi

Maka tersebutlah kisah bahwa pada suatu ketika ada Pemangku Adat bernama Londong di Rura (Ayam jantan dari Rura) yang berusaha dengan berbagai macam siasat untuk mempersatukan dan menguasai komunitas yang ada. Dengan berbagai macam akal dan cara, maka diselenggarakan Upacara Adat besar yang dinamakan MA’BUA. Sebenarnya menurut aturan adat upacara tersebut dilakukan melalui keputusan musyawarah dengan upacara memotong babi. Namun upacara Mabua tersebut tidak melalui musyawarah atau Kombongan atau tujuannya untuk meligitimasi kekuasaannya, maka Tuhan menjatuhkan laknat dan kutukan sehingga tempat upacara terbakar dan menjadi danau yang dapat disaksikan sekarang antara perjalanan dari Toraja ke Makassar (KM 75).
Maka bercerai-berailah komunitas tersebut ada yang ke selatan dan ke arah utara. Kelompok yang menuju ke utara sampai di sebuah tempat di kaki Gunung Kandora yang dinamakan Tondok Puan.
Mereka membentuk komunitas baru dengan aturan-aturan yang sesuai dengan kondisi fisik di lokasi permukiman baru serta pola hubungan sosial pasca Londong di Rura. Didirikan rumah adat tempat pertemuan yang dinamakan Tongkonan artinya Balai Musyawarah. Tongkonan tersebut diberi nama Banua Puan artinya Rumah yang berdiri tempat yang bernama Puan. Tongkonan tersebut merupakan Tongkonan pertama di Toraja dan komunitas pertama yang terbentuk bernama To Tangdilino artinya pemilik bumi yang diambil dari nama Pemangku Adat pertama (Pimpinan Komunitas To Lembang). Lembang tersebut membuat struktur dan aturan-aturan yang disepakati bersama melalui Kombongan yang diselenggarakan di Rumah Tongkonan. Kombongan inilah yang merupakan Lembaga pengambil keputusan tertinggi. Kewenangan Kombongan diberi arti dengan ungkapan Untesse Batu Laulung (kombongan dapat memecahkan batu pualam).
Komunitas To Banua Puan yang dinamakan Lembang dengan struktur kelembagaan adatnya merupakan embrio kelembagaan dan Lembang yang pertama di Toraja dan tempatnya dapat kita buktikan di kaki Gunung Kandora Desa Tengan Kec. Mengkendek. Dari Tongkonan tersebut menyebarlah ke  seluruh Tana Toraja serta membawa adat dan budaya serta pola To Banua Puan di setiap tempat senantiasa terbentuk komunitas dengan basis Tongkonan di atas wilayah tertentu. Jadi dapat dilihat bahwa penamaan Lembang dengan Lembaga Tongkonannya senantiasa dikaitkan dengan sumberdaya alamnya khususnya tanah sangat mempengaruhi pola pergaulan dan aktivitas sosial dalam Komunitas Lembang.

II. Aluksanda Saratu

Masa To Manurun atau orang yang diturunkan dari kayangan. Setelah berlangsung beberapa generasi dimana manusia mulai berkembang dengan diiringi oleh terbentuknya Lembang baru. Hal ini mulai menimbulkan persaingan dan pertikaian antar kelompok. Karena Aluk Sanda Pitunna hanya mengatur intern kelompok, maka tidak dapat lagi mengatur hubungan antar Lembang. Maka oleh dewa diturunkanlah Aluk Sanda Saratu aturan serba seratus yang mengatur hubungan antar komunitas atau antar lembang. Prinsip dasar adalah persatuan dan kesatuan dengan motto “Misa Kada Dipotuo Pantan Kada Dipomate.” Strategi sebagai pintu masuk adalah dengan pengembangan sejarah dan ikatan silsilah kekeluargaan antar Tongkonan yang menggambarkan kesatuan asal keturunan dan persamaan nasib. Seluruh wilayah permukiman To Lembang dikoordinir dalam satu kesatuan yang dinamakan Tondok Lepongan Bulan Tana Matari Allo. Dibentuk Forum Koordinasi yang mengatur tata hubungan antar lembang dan penyelesaian sengketa antar Lembang yang dinamakan Kombongan Kalua Sang Lepongan Bulan.
Aturan tersebut tidak dapat berjalan karena tidak ada yang menjalankan atau tidak ada satupun dari Lembang yang ada dan mampu mengkoordinir. Oleh karena itu diturunkanlah dari langit Puang Tamborolangi dan mendarat di Puncak Gunung Kandora sebagai pelaksana aturan Sanda Saratu. Puang Tamboro Langi inilah yang merupakan nenek moyang raja-raja di Sulawesi khususnya di Selatan, Tengah dan Tenggara.
Apabila dikaji secara mendalam maka makna dari cerita tersebut adalah “bahwa eksistensi raja atau pemimpin di Toraja diturunkan dari khayangan untuk melaksanakan peraturan demi kepentingan masyarakat,” jadi peraturan Sanda Saratu bukan untuk kepentingan raja tetapi untuk kepentingan rakyat dan bila tidak dapat mengemban tugas, maka raja diturunkan oleh dewa melalui Kombongan Kalua. Kombongan Kalua sebagai alat dari Dewa berarti suara rakyat peserta kombongan diindentikkan dengan suara Dewa atau dengan kata lain adalah dewa dan keputusan Kombongan Titah Dewa.
Upaya dan proses perkembangan tersebut di atas dimana komunitas dengan kelembagaan adatnya yang terbangun dari dan oleh mereka sendiri melalui musyawarah menciptakan suatu organisasi yang dinamis, mapan dan dapat menghadapi perubahan-perubahan.
Berasal dari sejarah asal-usul dan tradisi setempat dimana proses waktu serta dinamika pola interaksi sosial antar anggota komunitas serta dengan alam lingkungannya menghasilkan berbagai keragaman komunitas. Keragaman budaya, sistem pemerintahan, sistem hukum serta kearifan tradisional sangat dipengaruhi oleh hal-hal tersebut di atas. Dapat dipahami bila sebelum Pemerintahan Kolonial didapati berbagai ragam komunitas-komunitas yang berdaulat. Keragaman dalam tradisi, sejarah, adat-istiadat sistem pemerintahan merupakan kekayaan budaya bangsa yang diakui melalui semboyan “Bhinneka Tunggal Ika.” Di Toraja Komunitas Lembang diikat melalui semboyan “Misa Kada Dipotuo Pantan Kada di Pomate Lan Lilina Lepongan Bulan Tana Matari Allo.”
VIII.  Keterancaman Nilai Demokrasi dengan Kedatangan  Tomanurun
Disisi lain keturunan Puang Tambora Langi sebagai pelaksana Aluk Sanda dalam perkembangannya memposisikan dirinya menjadi supra struktur di atas komunitas yang merupakan cikal bakal terbentuknya strata sosial, feodalisme atau pemerintahan kerajaan. Harapan semula untuk menjadi juru damai antar komunitas dalam perjalanan sejarahnya terpaksa mencari basis kekuasaan yaitu terbentuknya lembaga supra di atas komunitas yang dibeberapa tempat dilegitimasi melalui Kombongan Kalua antar Komunitas antara lain Sanggala yang digelar Limbu Apana dan To Sereala Penanianna (gabungan empat Komunitas adat besar yang terdiri dari 12 komunitas basis). Penguatan kelembagaan adat dan dapat dilihat di Sanggala dengan terbentuknya Kelembagaan Kombongan Kalua To Maduang Salu (rakyat banyak) yang mengontrol kelembagaan Supra Komunitas.
Oleh karena hasil Kombongan Kalua, maka nilai dan struktur kelembagaan tersebut bertahan terus dan dihormati oleh masyarakat sampai dikeluarkannya UU/5/79. Sanggala dijadikan kecamatan dan lembaga adat dibuat tidak berfungsi dan tidak berdaya.

IX.  Struktur Kelembagaan

Komunitas atau Lembang merupakan sebuah wilayah Masyarakat Hukum Adat yang mempunyai struktur dan perangkat lembaga adat yang dinamakan Tongkonan dan dipimpin oleh Pemangku Adat atau To Parenge.
Sejak dari To Puan dalam perkembangannya sekarang ini ada beberapa aspek yang sangat mendasar serta melembaga dalam pergaulan sosial suku Toraja, yakni :
  • Hidup berkelompok dalam suatu komunitas yang dinamakan Lembang
  • Ada pemimpin atau yang dituakan dan;
  • Nilai demokrasi melalui Kombongan merupakan kekuasaan yang tertinggi (untesse batu mapipang).
Di Tana Toraja terdapat 32 Masyarakat Adat yang mandiri dan mempunyai aturan masing-masing yang berbeda. Namun tetap terikat dalam Sang Torayaan yang digelar To Sanglepongan Bulan Tana Matari Allo (bundar bagaikan bulab purnama bersinar bagaikan matahari pagi).  Diikat oleh nilai yang diwarisi dan leluhur yang sama.

Kasus Naggala Sebagai Kajian

Salah satu contoh Masyarakat Adat Nanggala atau Lembang Nanggala yang digelar   To Annan Karopina Na Lili Misa Babana  artinya kesatuan enam wilayah yang diikat melalui satu pintu.
Sebelum pemerintahan Belanda, Nanggala merupakan satu Komunitas yang berdaulat dengan sumber daya alamnya dalam bentuk Hutan seluas ± 20.000 Ha dan persawahan seluas ± 900 Ha. Tahun 1908 Lembang Nanggala diresmikan menjadi Distrik Nanggala yang dipimpin oleh seorang Kepala Distrik yang digelar Parenge.
Seluruh sistem dan struktur pemerintahan adat diakomodasikan dalam sistem pemerintahan Kolonial. Penyesuaian tersebut dapat dilihat pada Karopi dijadikan Kampung yang dipimpin oleh seorang yang semula To Parenge kemudian dijadikan Kepala Kampung Lembaga Peradilan Adat dan Kombongan tetap difungsikan.
Tahun 1967 distrik diubah menjadi Desa Gaya Baru namun struktur dan kelembagaan adat tetap dipertahankan. Dengan UU/5/1979 dibentuk desa dan seluruh sistem dan kelembagaan adat dihapuskan menjadi LKMD dan LMD. Kombongan Kalua diubah menjadi Musyawarah Desa sedangkan Kombongan pada tingkat Karopi ditiadakan. Nilai demokrasi Kombongan tergeser dengan demokrasi terpimpin dan dijadikan alat oleh golongan tertentu. UU/22/2001 dengan keluarnya Perda No.II tentang Desa, maka Lembang dibentuk kembali dengan sistem Pra UU/5/2000. Untuk lebih mendalami tentang obyek studi kasus tersebut, maka kami paparkan Sistem Pemerintahan Adat atau Lembang, Struktur kelembagaan yang ada sebelum UU/5/1979.
Wilayah terdiri dari 6 (enam) Koropi dengan  enam Lembagaan Adat yaitu Tongkonan dengan pemangku Adat dinamakan To Parenge. Keenam Karopi tersebut adalah :
  1. Karopi Kawasik dengan Tongkonan Langkanae dipimpin oleh To Parenge Kawasik.
  2. Karopi Rante dengan Tongkonan Tondok Puang di pimpin oleh To Parenge Rante.
  3. Karopi Basokan dengan Tongkonan Belolangi di pimpin oleh To Parenge Basokan
  4. Karopi Nanna dengan Tongkonan Buntu dipimpin oleh To Parenge Nanna
  5. Karopi Alo dengan Tongkonan Dalonga dipimpin To Parenge Alo dan;
  6. Karopi Barana dengan Tongkonan Sendana dipimpin oleh To Parenge Barana.
Keenam To Parenge tersebut di atas dinamakan Parenge Petulak (penopang atau pilar).
Struktur Kelembagaan
Tongkonan tertinggi yang merupakan dwitunggal yaitu Lumika dan Pao dengan Pemangku Adat To Dua (dwi tunggal). Kekuasaan meliputi Sang Nanggalaan Na Lili Misa Banana. Tongkona Petulak (penopang) terdapat enam masing-masing di Karopi yang dipimpin oelh To Parenge sebagaimana tersebut di atas.
Disamping itu terdapat Tongkonan yang fungsional yaitu ;
  • To Sikuku pengelolaan sumber daya alam termasuk hutan
  • Ne Bala Tua keagamaan dan melaksanakan upacara apabila terjadi pelanggaran adat.
  • To Bamba Bunga lalan yang menentukan waktu turun sawah dengan ilmu perbintangan.

Posisi To Dua

  • Penguasa seluruh Nanggala Tongkonan Layuk (Tongkonan tertinggi)
  • Mengatur serta mengayomi aturan adat yang disepakati oleh Kombongan
  • Menyelesaikan peselisihan antar To Parenge Petulak (Karopi)
  • Hubungan dengan Madat tetangga atau pemerintahan formal
  • Memimpin Kombongan Kalua seluruh Nanggala yang menyangkut evaluasi kembali aturan yang ada, mencabut, mengubah atau membuat peraturan adat yang baru.
  • Bertanggung jawab apabila ada pelaksanaan aturan adat yang tidak sesuai dengan hasil musyawarah.
  • Memimpin sidang adat pendamai atas kasus yang tidak diselesaikan pada tingkat Karopi.
  • Menjadi pautan.

To Parenge Karopi

  • Mengatur serta mengayomi aturan adat atau kesepakatan hasil Kombongan dalam lingkup Karopi masing-masing.
  • Menyelesaikan perselisihan antar anggota masyarakat dalam lingkup Karopi masing-masing
  • Memimpin dan mengatur serta bertanggung jawab atas pelaksanaan upacara adat dalam Karopi masing-masing
  • Memimpin pelaksanaan kerja gotong-royong (siarak) dalam penanggulangan bencana, pembuatan pondok upacara dan gotong-royong lainnya.
  • Menjadi pengayom masyarakat (untarek lindopio)
Mekanisme Pengangkatan To Parenge

Diseleksi oleh warga berdasarkan garis keturunan dan pengabdian serta penguasaan adat istiadat. Diajukan dalam Kombongan Karopi yang harus dihadiri oleh masyarakat. baru dapat diresmikan.

Hubungan  Lembaga Tongkonan Parenge dengan Masyarakat

  1. Apabila terjadi perselisihan antar warga dalam Karopi, maka Tongkonan dan To Parenge wajib dan bertanggung jawab untuk menyelesaikannya melalui sidang adat pendamai yang diselenggarakan di Tongkonan.
  2. Upacara adat yang dilakukan oleh anggota masyarakat dalam wilayah Karopi yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya adalah Toparenge sedangkan yang punya upacara hanya menyediakan bahan pengerahan tenaga dan pengaturannya dan pelaksanaannya mennjadi tanggungjawab To Parenge bersama Pemangku Adat lainnya. Andaikata ada sesuatu yang tidak beres, maka bukan yang punya upacara yang bertanggung jawab tetapi To Parenge.
  3. Penyelesaian pelanggaran adat yang merugikan masyarakat melalui adat pendamai.
  4. Mengatur dan menyelesaikan pembagian warisan anggota masyarakat apalagi yang menyangkut tanah (lihat lampiran).
X.  Kombongan sebagai Pilar Demokrasi dalam Lembang
Kombongan sebagai pilar demokrasi dan sebagai wadah yang mengawal dinamika adat sesuai perubahan kebutuhan masyarakatnya. Sejak To Banua Puan, maka salah satu ciri yang mendasar dalam komunitas adalah musyawarah yang dinamakan Kombongan.
Pada saat ini Kombongan tersebut sudah melembaga dari generasi ke generasi. Semboyan Kombongan yaitu “Untesse batu mapipang” artinya dapat  memecahkan batu cadas yang mempunyai makna bahwa apapun dan bagaimanapun asal disetujui melalui Kombongan dapat merubah, menghapus atau membuat aturan adat yang baru. Hasil Kombongan setelah disahkan merupakan adat.
Prinsip tersebut sudah membudaya disetiap insan Toraja sehingga dimanapun mereka berada di seluruh Nusantara hidup berkelompok dan bermusyawarah tetap dipertahankan. Motto, “Kada Rapa dan Kada Situru” (kesepakatan dan persetujuan) yaitu :
  • Kombongan Kalua Sang Lepongan Bulan
  • Kombongan Kalua meliputi seluruh Lembang
  • Kombongan Karopi dalam tiap Karopi
  • Kombongan Saroan dalam kelompok basis di bawah Karopi
Kombongan kalua sang lepongan bulan (Musyawarah Agung), kombongan seluruh Tana Toraja yang merumuskan dan memusyawarahkan aturan-aturan yang menyangkut antar Lembang. Kombongan tersebut sesuai tingkatan dan urgensinya dapat dihadiri oleh seluruh masyarakat Toraja di Tana Toraja atau di luar Tana Toraja. Oleh karena pertimbangan efesiensi, maka kombongan tersebut dihadiri oleh wakil atau utusan dari masing-masing kelompok jadi berlaku demokrasi perwakilan.
Kombongan kalua sang lembangan,  kombongan yang tertinggi dalam wilyah adat misalnya Sang Nanggalan. Dilakukan setiap tahun atau apabila ada hal yang penting atau khusus. Dihadiri oleh seluruh pemuka To Parenge bersama pemuka adat dan masyarakat. Mekanisme dalam persidangan sangat terbuka dan bebas dimana tiap peserta bebas mengeluarkan pendapat namun pengambil keputusan oleh tiap Karopi melalui musyawarah dan mufakat.
Musyawarah Kombongan Kalua dalam pengambilan keputusan berdasarkan keterwakilan oleh To Parenge karena asumsi bahwa sudah ada proses di tingkat Karopi sebelum terjun ke Kombongan Kalua. Seluruh keputusan dalam Kombongan Kalua dibacakan kembali oleh To Dia dan akhiri dengan upacara Potong Babi dan memakan nasi dari jenis padi berbulu yang berarti apabila ada yang mengingkari hasil Kombongan, maka tulang babi akan menyumbat lehernya dan bulu dari babi akan menusuk perut sehingga hasil kombongan tersebut ditingkatkan kekuatannya menjadi Besse atau sumpah.
Hasil Kombongan Kalua disosialisasikan kembali oleh To Parenge atau pemuka adat yang biasanya dilakukan pada saat upacara adat dan mengikat seluruh warga Lembang sang Nanggalaan.
Kombongan Karopi di tingkat Karopi dinamakan Kombongan saja. Dilaksanakan tiap tahun atau apabila ada hal yang khusus antar lain apabila terjadi pelanggaran adat atau hasil kombongan kalua. Kombongan dihadiri oleh seluruh warga dan dilaksanakan dengan demokratis. Dalam kombongan tersebut tanpa melihat tingkatan dan golongan bebas berbicara sehingga kadang-kadang terjadi perdebatan yang sengit. Di sini kecenderungan rakyat meminta pertanggungjawaban dari To Parenge atas pelaksanaan adat dalam wilayahnya sehingga biasanya kombongan menjadi ajang Pengadilan To Parenge, namun karena kedudukan To Parenge serta mekanisme pengangkatannya melalui usulan keluarga, maka sukar dijatuhkan namun To Parenge dapat dikenakan denda atau didosa. Yang dibahas adalah aturan adat yang berlaku, merubah, mencabut aturan-aturan baru yang semuanya berasal dari usulan masyarakat. Apabila ada yang tidak dapat diselesaikan atau menyangkut hubungan dengan Karopi lainnya, maka akan diajukan ke Kombongan Kalua. Kombongan tersebut sesuai fungsinya menunjuk beberapa pemuka sebagai Adat Pendamai atau Peradilan Adat.
Kombongan Soroan, kombongan yang menyangkit aturan lokal dalam wilayah kecil atau kelompok keluarga atau organisasi kemasyarakatan antara lain organisasi jemaat gereja, koperasi kelompok atau wilayah sebesar RT. Mengkaji dan membuat kesepakatan khususnya yang berkaitan dengan gotong-royong kelompok atau menyelesaikan kasus tanah hak milik bersama atas tanah atau hutan. Segala keputusan Kombongan diketahui oleh To Parenge dan yang tidak terselesaikan di bawa ke Kombongan Karopi.

XI. Ciri- Ciri Khusus 

  1. Suku Toraja adalah penduduk menetap. Interaksi dengan alam lingkungannya sangat menentukan pola hubungan sosial dalam kaitannya dengan adat dan budaya. Ciri tersebut mempengaruhi bentuk komunitas yang bernuansa kebersamaan dan demokratis.
  2. Oleh proses sejarah yang panjang dan dituntut sampai sekarang, maka budaya hidup berkelompok dalam satu komunitas di atas wilayah yang tetap merupakan ciri khusus masyarakat suku Toraja.
  3. Kombongan sebagai wadah musyawarah merupakan lembaga yang tertinggi. Segala sesuatu aturan yang menyangkut publik harus diputuskan melalui Kombongan. Pengambilankeputusan tanpa musyawarah atau otoriter baik oleh pemerintah ataupun oleh Pemangku Adat tidak pernah ditaati atau dilaksanakan oleh masyarakat. Istilah To Makada Misa (otoriter) tidak pernah diterima oleh masyarakat Toraja.
  4. Faktor sejarah dan silsilah Lembang tempat asalnya merupakan kebanggaan masing-masing masyarakatnya.
  5. Faktor hubungan keluarga yang legitimasi melalui sejarah dan silsilah merupakan tali pengikat yang dapat merupakan salah satu sarana penyelesaian konflik.
Strategi dan pintu masuk dalam rangka penguatan adalah melalui komunitas Lembang atau kelompok dan bukan individu. Pengungkapan sejarah serta nilai adat masing-masing Lembang merupakan alat komunikasi yang efektif dengan masyarakat.
Di Tana Toraja menurut Kruyt dan Andriani terdapat 32 Recht Gemeinschaft yang sekarang ini disebut Masyarakat Adat. Oleh pemerintahan kolonial Belanda ke-32 Rechtgerneinschaft dijadikan distrik yang dipimpin oleh seorang Kepala Distrik. Distrik membawahi Karopi yang dinamakan Kampung dipimpin oleh To Parenge Kanopi yang diubah namanya menajdi Kepala Kampung. Jadi ada kejelian dari pemerintahan Kolonial Belanda untuk menjadikan adat sebagai pintu masuk, sedangkan mekanisme Kombongan dan fungsi Tongkonan tetap dipertahankan.
Proses ini dimulai sejak tahun 1908-1979 dengan ditetapkannya UU/5/1979 dimana semua kelembagaan adat serta sistemnya diubah dan diganti dengan LKMD dan LMD. Dengan keluarnya UU/22/1999, maka berdasarkan Perda DPRD No.2/2001, maka desa tersebut dihapus dengan mengembalikan sistem pemerintahan Lembang sama sebelum UU/5/1979.

XII.  Kesimpulan

  1. Sebagai suku yang menetap maka faktor sejarah, budaya dan adat merupakan pengikat dan pemersatu dalam menghadapi dinamika sosial yang berkembang dan berubah-ubah.
  2. Kombongan sebagai pilar demokrasi dan sekaligus sebagai wadah dalam mengantisipasi perubahan-perubahan dalam masyarakat sehingga memberikan nilai tersendiri sebagai adat yang dinamis dan perlu ditumbuhkembangkan dari ketersisihan sebagai akibat dari UU/5/1979.
  3. Namun aktualita dampak perkembangan pembangunan dan dinamika perubahan sosial yang tidak disikapi secara konkrit, mengakibatkan terjadinya proses perubahan nilai pada generasi muda sehingga dapat menciptakan manusia tanpa identitas atau tercabut dari akarnya.

XII.  Rekomendasi 

  1. Kurun waktu 32 tahun telah meluluhlantarkan adat dan budaya suku atau Komunitas Adat di seluruh Indonesia dan khususnya kelembagaan Kombongan yang dieleminasi melalui LKMD dan LMD.
  2. UU/22/1999 sebagai salah satu peluang untuk mengembangkan kembali demokrasi dan pola hubungan sosial melalui pembentukan desa adat.
  3. UU/22/1999 mendapat banyak kendala oleh karena sudah terjadi pergeseran nilai dikalangan masyarakat terutama antara generasi tua dan muda. Untuk itu diperlukan kerja keras melalui identifikasi dan revitalisasi hukum adat dalam tiap komunitas adat.
  4. Memberdayakan Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagi pintu masuk yang strategis agar menerapkan mekanisme sistem musyawarah Kombongan yang demokratis.
  5. Mengakomodasi dan memberdayakan kelembagaan adat atau masyarakat yang masih diterima dan hidup dalam masyarakat.
  6. Perlu rencana tindak lanjut dari hasil Pertemuan Forum IV

Entri BlogTradisi Lisan dan Kearifan Lokal TorajaNov 12, '08 2:42 AM
untuk
Pengelolaan Lingkungan
Tradisi Lisan dan Kearifan Lokal Toraja


Stanilaus Sandarupa
Pemerintah kelihatan semakin serius dalam hal lingkungan ketika muncul berita bahwa Menteri Negara Lingkungan Hidup akan berupaya memperoleh pendanaan hutan konservasi senilai 370 juta dollar AS dari dunia internasional (Kompas, 13/9).
Terlepas dari berita baik di atas, ada hal-hal yang perlu diubah. Misalnya, masih terdapat dominansi pandangan yang lebih menekankan hubungan antara manusia dan alam sebagai hubungan subyek-obyek. Atas nama pembangunan kita memperlakukan hutan dan lingkungan sebagai obyek belaka dan mengeksploitirnya untuk kepentingan ekonomi. Pola hubungan ini tidak dapat dipertahankan lagi karena sudah terbukti mendatangkan lebih banyak malapetaka.
Untuk keluar dari masalah ini, perlu diingatkan untuk kembali melaksanakan pembangunan bottom-up dan melibatkan peran budaya lokal. Salah satunya adalah kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, yang tersimpan dengan sistematis dalam tradisi lisan mereka.
Di sini diusulkan untuk mencari pola hubungan manusia-alam versi lain. Pola hubungan itu dapat dapat ditemukan dalam budaya lokal.
Tradisi lisan Toraja, misalnya, menyimpan kearifan lokal yang memperlihatkan pola hubungan bukan subyek-obyek, melainkan subyek-subyek. Teks-teks tradisi lisan yang muncul dalam bentuk tuturan ritus (ritual speech), mitos, cerita, peribahasa, pantun, pemali, lagu-lagu, dan lain-lain mengonstruksi hubungan itu sebagai "hubungan saudara".
"Aluk todolo"
Masyarakat Toraja mendiami daerah pegunungan sebelah utara Provinsi Sulawesi Selatan. Toraja menjadi daerah tujuan utama wisata karena budayanya yang unik.
Teks-teks tradisi lisan Toraja mengonstruksi kehidupan sosial, yaitu membangun obyek-obyek, dunia, ide, dan hubungan sosial. Teks-teks ini secara sistematis mengatur relasi manusia dengan dunia sakral (dewa-dewa dan leluhur), manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya.
Tema paling mencolok ialah cita-cita untuk mencapai kehidupan ekologis yang harmonis. Sistematisasi tema ini, proses intertekstualitas teks, dan pemunculannya dalam berbagai bentuk, seperti mitos, cerita, pemali, dan berbagai ungkapan lainnya, menandakan suatu kondisi genting kehidupan petani pada masa lampau. Kondisi kehidupan yang genting itu mirip dengan homo homini lupus Hobbes; ketika manusia serakah terhadap alam dan menjadi serigala buat lainnya.
Pelaksanaan ajaran
Tidak mengherankan kalau kemudian muncul aluk todolo, "agama leluhur" orang Toraja yang melembagakan praktik-praktik pengetatan pelaksanaan ajaran, aturan, dan tatanan kehidupan sosial. Masih dipraktikkan sekitar 3 persen penduduknya (Biro Statistik 2006) dan sudah dilindungi oleh negara serta resmi diterima ke dalam sekte Hindu-Bali pada tahun 1970, agama ini bersumber dari dua ajaran utama, pertama, yang disebut Aluk 7777 atau Aluk Sanda Pitunna (aluk yang serba tujuh), dan kedua, Aluk Sanda Saratu’ (aluk yang serba seratus). Baik Aluk 7777 yang disebarkan oleh Tangdilino’ maupun Aluk Sanda Saratu’ yang disebarkan Puang Tamborolangi’ dipercayai turun dari langit.
Pengelolaan lingkungan yang diatur Aluk bersumber dari ajaran agama (sukaran aluk) yang meliputi upacara-aluk, larangan (pemali), kebenaran umum (sangka’ ), dan kejadian sesuai dengan alurnya (salunna). Pengelolaan lingkungan Aluk sendiri terdiri atas aluk tallu lolona, a’pa’ tauninna yang artinya "upacara yang terdiri atas tiga pucuk kehidupan dan empat tembuni".
Disebut tiga aluk karena ia meliputi upacara menyangkut manusia (aluk tau), upacara tanam-tanaman (aluk tananan), dan upacara menyangkut hewan (aluk patuan). Dikatakan empat karena di samping ketiga hal di atas ada lagi satu upacara yang disebut upacara menebus kesalahan (suru’ pengkalossora).
Masyarakat Toraja patut berbangga karena mempunyai mitos penciptaan yang dikonstruksi dalam satu teks yang terdiri atas ribuan baris paralel yang disebut passomba tedong, "persembahan kerbau kepada Yang Kuasa" (Van der Veen 1965). Teks ini dinarasikan semalam suntuk, disertai persembahan seekor kerbau kecil ke Yang Kuasa pada waktu melakukan upacara rumah (tongkonan). Muncul dalam bentuk paralelisme sebagai ciri tuturan ritus setempat, teks tradisi lisan ini dipelihara, dikontrol, dan dikuasai serta diturun-temurunkan secara genealogis oleh sekelompok pemimpin upacara kehidupan rambu tuka’, yaitu tomina dan tomenani.
Dalam teks ini penciptaan dunia terdiri atas dua bagian, yaitu perjalanan dewa-dewa dan ajaran agama di langit (lalanna sukaran aluk) serta perjalanan leluhur di bumi (lalan ada’). Teks penciptaan mengonstruksi bahwa baik nenek manusia maupun nenek binatang dan tanaman berasal dari sumber yang sama (sauan sibarrung) dan mereka bersaudara (sang serekan).
Namun, setelah turun ke bumi mereka melaksanakan fungsi secara berbeda-beda. Pada mulanya Puang Matua menciptakan satu kelompok moyang yang genap delapan (to sanda karua), yaitu nenek manusia (Datu Laukku’), nenek pohon ipo atau ipuh (Allo Tiranda), nenek kapas (Laungku’), nenek hujan (Pong Pirik-Pirik), nenek burung (Menturini), nenek kerbau (Manturini), nenek besi (Riako), dan nenek padi (Takkebuku). Sisa-sisa penciptaan-Nya dituangkan ke lembah-lembah yang kemudian tumbuh sebagai hutan-hutan.
Inti ajaran dalam teks ini, kata tua-tua adat, ialah manusia tidak boleh serakah dan memperlakukan alam secara semena-mena karena mereka bersaudara. Sebelum masuk hutan (pangngala’ tamman), upacara harus dilakukan untuk meminta izin kepada nenek moyang yang bersangkutan agar tidak mengakibatkan kematian.
"Tongkonan" dan "Alang"
Pembangunan rumah tongkonan dan lumbung alang harus dilandasi oleh hubungan saudara dengan hutan sebagai sumber bahan ramuan. Prinsip hubungan ini muncul dalam kontinuitas kehidupan. Penebangan pohon adalah mematikan karena itu harus ada upaya agar kayu mati tadi dihidupkan.
Dalam budaya ini kayu mati menjadi hidup kalau bahan kayu rumah yang diletakkan secara horizontal bagian batang bawah berada di selatan (muara sungai), sedangkan bagian atas kayu menghadap sumber mata air (utara) ke langit yang tertinggi. Tiang-tiang dan dinding rumah juga memakai prinsip sama, yaitu semua bahan harus ditata tumbuh ke atas.
Hanya dengan perlakuan demikian maka kontinuitas hidup terjamin dan pohon-pohon ini menghidupkan penghuninya. Kemudian, dalam pelaksanaan ritus kehidupan atau kematian, bahan-bahan kayu dibutuhkan (dimatikan) dan untuk menjaga kontinuitas kehidupannya pohon-pohon baru seperti pohon berdaun lebar (lamba’), beringin, cendana, dan kedondong harus ditanam kembali (dihidupkan). Kedondong dipercayai sebagai penangkal petir melindungi pohon-pohon lain karena buahnya asam. Bila pohon-pohon ini tumbuh, maka akan mendatangkan rezeki bagi seluruh kampung.
Hubungan saudara ini juga dikonkretkan dalam pembangunan pasangan rumah/lumbung. Rumah dikategorikan sebagai wanita (baine), sedangkan lumbung sebagai laki-laki (londongna banua). Hubungan antara keduanya adalah hubungan saudara.
Ini misalnya dibuktikan dengan pemakaian istilah kekerabatan untuk menamai tiang pusat rumah yang terbuat dari kayu nangka (a’riri posi’), yaitu anak dara-anak dara. Laki-laki memakai nama ini untuk memanggil saudara perempuannya, sedangkan yang terakhir memanggil saudara laki-lakinya anak laki-laki (anak muane).
Tongkonan dan alang adalah mikro-kosmos mewakili makro-kosmos yang menekankan hubungan saudara, yaitu langit (laki-laki) dan bumi (wanita), atau Puang Matua pencipta (saudara laki-laki) yang berdiam di langit dan Datu Baine (saudara perempuan) yang berdiam di bumi.
Proses pembangunan rumah/lumbung ini harus didasarkan pada kebenaran umum yang diturun-temurunkan (sangka’), yang sudah diuji kebenarannya, suatu praktik yang menghidupkan dan tidak mematikan. Hal ini ditandai dengan penempatan simbol-simbol di depan tongkonan yang mirip salib yang disebut jejeran kebenaran (dandanan sangka’).
Yang menarik adalah kebenaran umum dikonstruksi dalam bentuk cerita, yang bagi kebanyakan kita tidak lebih dari sekadar "cerita". Banyak cerita sangka’ yang diceritakan secara turun temurun (ulelean batu silambi’) tentang kecelakaan dalam penebangan pohon-pohon di hutan yang dibawa hanyut air sungai. Cerita demikian dapat ditemukan dalam berbagai versi dari kampung ke kampung.
Singkatnya, perlakuan alam secara saudara harus didasarkan pada serangkaian kebenaran karena tongkonan adalah doa dan harapan yang menarik datangnya (ullambe) rezeki (dalle’), kebahagiaan (kamasannangan), keselamatan (kamarendengan), dan kekayaan (eanan).
Tuturan ritus
Masyarakat Toraja punya ideologi bahasa yang mirip dengan apa yang Austin dan Wittgenstein katakan, yaitu bertutur dan berbicara adalah suatu social action yang punya akibat. Yang paling ditakuti ialah kalau kegiatan berbicara itu mendatangkan bala (tula). Sebaliknya, yang paling didambakan adalah bila kegiatan bertutur mendatangkan kebaikan (kameloan).
Dipercayai, misalnya, bahwa dalam nama pohon terdapat dua kekuatan, yaitu kekuatan mematikan dan menghidupkan. Dalam mitos turunnya Pong Mula Tau (manusia pertama) di Rura (sekarang masuk kecamatan Enrekang) Tangdilino’ menyuruh Pong Bulu Kuse dan Pong Sabannangna masuk ke dalam hutan untuk menebang pohon-pohon. Karena mereka serakah hendak menebang pohon tanpa melakukan upacara, semua pohon menyebutkan namanya, yang menyebabkan kematian (kada beko) akan terjadi pada manusia kalau mereka menebangnya. Keserakahan terhadap alam adalah pertanda hubungan non-saudara.
Hanya dengan mediasi ritual likaran biang, yaitu upacara kehidupan dengan mengorbankan ayam di hutan, maka pohon-pohon itu mengungkap unsur-unsur dari totalitas kehidupan. Pohon nangka akan mendatangkan kekayaan bagi penghuninya, pohon uru akan mendatangkan banyak babi besar, pohon betau akan membangun manusia seutuhnya, dan seterusnya.
Kearifan lokal yang dikonstruksi dalam tradisi lisan Toraja dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan lingkungan. Inti utamanya adalah membangun hubungan manusia dan alam sebagai hubungan subyek-subyek, yaitu dengan menerapkan "hubungan saudara". Hubungan non-saudara (subyek-obyek) hanya akan mendatangkan sifat serakah, penebangan liar, dan lain-lain. Adapun hubungan saudara (subyek-subyek) yang didasari ajaran agama, kebenaran-kebenaran yang turun-temurun, serta mediasi ritual akan mendatangkan kesuburan dan kehidupan.
Stanilaus Sandarupa Anggota Asosiasi Tradisi Lisan, Dosen Antropolinguistik pada Fakultas Sastra, Unhas


Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 600.000 jiwa. Mereka juga menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulawesi Barat.
Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
Wilayah Tana Toraja juga digelar Tondok Lili’na Lapongan Bulan Tana Matari’ Allo arti harfiahnya adalah “Negri yang bulat seperti bulan dan matahari”. Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja).
Mitos
Menurut mitos, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan “tangga dari langit” untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa - dalam bahasa Toraja).
Lain lagi versi dari DR. C. CYRUT seorang anthtropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk lokal yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Tiongkok). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indochina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut.
Aluk
Aluk adalah merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa oleh kaum imigran dari dataran Indochina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi.
Aluk Sanda Saratu
Tokoh penting dalam penyebaran aluk ini antara lain: Tomanurun Tambora Langi’ yang merupakan pembawa aluk Sabda Saratu yang mengikat penganutnya dalam daerah terbatas yakni wilayah Tallu Lembangna.
Aluk Sanda Pitunna (7777777)
Wilayah barat
Tokoh penting dalam penyebaran aluk ini di wilayah barat Tana Toraja yaitu : Pongkapadang bersama Burake Tattiu’ yang menyebarkan ke daerah Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga, dengan memperkenalkan kepada masyarakat setempat suatu pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja “to unnirui’ suke pa’pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata sosial yang tidak mengenal strata.
Wilayah timur
Di wilayah timur Tana Toraja, Pasontik bersama Burake Tambolang menyebarkannya ke daerah Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Ta’bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan memperkenalkan pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : “To Unnirui’ suke dibonga, To unkandei kandean pindan”, yaitu pranata sosial yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.
Wilayah tengah
Tangdilino bersama Burake Tangngana menyebarkan aluk ke wilayah tengah Tana Toraja dengan membawa pranata sosial “To unniru’i suke dibonga, To ungkandei kandean pindan”.
 Kesatuan adat
 Seluruh Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo ( wilayah Tana Toraja) diikat oleh salah satu aturan yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo yang secara harafiahnya berarti “Negri yang bulat seperti bulan dan Matahari”. Nama ini mempunyai latar belakang yang bermakna, persekutuan negeri sebagai satu kesatuan yang bulat dari berbagai daerah adat. Ini dikarenakan Tana Toraja tidak pernah diperintah oleh seorang penguasa tunggal, tetapi wilayah daerahnya terdiri dari kelompok adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku adat dan ada sekitar 32 pemangku adat di Toraja.
 Karena perserikatan dan kesatuan kelompok adat tersebut, maka diberilah nama perserikatan bundar atau bulat yang terikat dalam satu pandangan hidup dan keyakinan sebagai pengikat seluruh daerah dan kelompok adat tersebut.
Upacara adat
Di wilayah Kab. Tana Toraja terdapat dua upacara adat yang amat terkenal , yaitu upacara adat Rambu Solo’ (upacara untuk pemakaman) dengan acara Sapu Randanan, dan Tombi Saratu’, serta Ma’nene’, dan upacara adat Rambu Tuka. Upacara-upacara adat tersebut di atas baik Rambu Tuka’ maupun Rambu Solo’ diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang bermacam-macam ragamnya.
Rambu Solo
Adalah sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga yang almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.
Tingkatan upacara Rambu Solo
Upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni:
  1. Dipasang Bongi: Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam satu malam saja.
  2. Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
  3. Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.
  4. Dipapitung Bongi:Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan hewan.

Upacara tertinggi
 Biasanya upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentang waktu sekurang kurangnya setahun, upacara yang pertama disebut Aluk Pia biasanya dalam pelaksanaannya bertempat disekitar Tongkonan keluarga yang berduka, sedangkan Upacara kedua yakni upacara Rante biasanya dilaksanakan disebuah lapangan khusus karena upacara yang menjadi puncak dari prosesi pemakaman ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus dijalani, seperti : Ma’ tundan, Ma’balun (membungkus jenazah), Ma’roto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah), Ma’ Popengkalao Alang (menurunkan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan), dan yang terkahir Ma’ Palao (yakni mengusung jenazah ketempat peristirahatan yang terakhir).

Berbagai kegiatan budaya yang menarik dipertontonkan pula dalam upacara ini, antara lain :
  1. Mapasilaga tedong (Adu kerbau), kerbau yang diadu adalah kerbau khas Tana Toraja yang memiliki ciri khas yaitu memiliki tanduk bengkok kebawah ataupun kerbau yang berkulit belang (tedang bonga), tedong bonga di Toraja sangat bernilai tinggi harganya sampai ratusan juta; Sisemba (Adu kaki)
  2. Tari tarian yang berkaitan dengan ritus rambu solo seperti : Pa’Badong, Pa’Dondi, Pa’Randing, Pa’Katia, Pa’papanggan, Passailo dan Pa’pasilaga Tedong; Selanjutnya untuk seni musiknya: Pa’pompang, Pa’dali-dali dan Unnosong.;
  3. Ma’tinggoro tedong (Pemotongan kerbau dengan ciri khas masyarkat Toraja, yaitu dengan menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas), biasanya kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu.

Kerbau Tedong Bonga adalah termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) merupakan endemik spesies yang hanya terdapat di Tana Toraja. Ke-sulitan pembiakan dan kecenderungan untuk dipotong sebanyak-banyaknya pada upacara adat membuat plasma nutfah (sumber daya genetika) asli itu terancam kelestariannya.
Menjelang usainya Upacara Rambu Solo’, keluarga mendiang diwajibkan mengucapkan syukur pada Sang Pencipta yang sekaligus menandakan selesainya upacara pemakaman Rambu Solo’.
Rambu Tuka
Upacara adat Rambu Tuka’ adalah acara yang berhungan dengan acara syukuran misalnya syukuran panen dan peresmian rumah adat/tongkonan yang baru, atau yang selesai direnovasi; menghadirkan semua rumpun keluarga, dari acara ini membuat ikatan kekeluargaan di Tana Toraja sangat kuat semua Upacara tersebut dikenal dengan nama Ma’Bua’, Meroek, atau Mangrara Banua Sura’.
Untuk upacara adat Rambu Tuka’ diikuti oleh seni tari : Pa’ Gellu, Pa’ Boneballa, Gellu Tungga’, Ondo Samalele, Pa’Dao Bulan, Pa’Burake, Memanna, Maluya, Pa’Tirra’, Panimbong dan lain-lain. Untuk seni musik yaitu Pa’pompang, pa’Barrung, Pa’pelle’. Musik dan seni tari yang ditampilkan pada upacara Rambu Solo’ tidak boleh (tabu) ditampilkan pada upacara Rambu Tuka’.
Nilai Tradisi Vs Keagamaan
DALAM kepercayaan asli masyarakat Tana Toraja yang disebut Aluk Todolo, kesadaran bahwa manusia hidup di Bumi ini hanya untuk sementara, begitu kuat. Prinsipnya, selama tidak ada orang yang bisa menahan Matahari terbenam di ufuk barat, kematian pun tak mungkin bisa ditunda.
Lalu, ke manakah hidup setelah mati? Sesuai mitos yang hidup di kalangan pemeluk kepercayaan Aluk Todolo, seseorang yang telah meninggal dunia pada akhirnya akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo; dunia arwah, tempat berkumpulnya semua roh. Letaknya di bagian selatan tempat tinggal manusia. Hanya saja tidak setiap arwah atau roh orang yang meninggal itu dengan sendirinya bisa langsung masuk ke puyo. Untuk sampai ke sana perlu didahului upacara penguburan sesuai status sosial semasa ia hidup. Jika tidak diupacarakan atau upacara yang dilangsungkan tidak sempurna sesuai aluk (baca: ajaran dan tata cara peribadatan), yang bersangkutan tidak dapat mencapai puyo. Jiwanya akan tersesat.

“Agar jiwa orang yang ’bepergian’ itu tidak tersesat, tetapi sampai ke tujuan, upacara yang dilakukan harus sesuai aluk dan mengingat pamali. Ini yang disebut sangka’ atau darma, yakni mengikuti aturan yang sebenarnya. Kalau ada yang salah atau biasa dikatakan salah aluk (tomma’ liong-liong), jiwa orang yang ’bepergian’ itu akan tersendat menuju siruga (surga),” kata Tato’ Denna’, salah satu tokoh adat setempat, yang dalam stratifikasi penganut kepercayaan Aluk Todolo mendapat sebutan Ne’ Sando.
Selama orang yang meninggal dunia itu belum diupacarakan, ia akan menjadi arwah dalam wujud setengah dewa. Roh yang merupakan penjelmaan dari jiwa manusia yang telah meninggal dunia ini mereka sebut tomebali puang. Sambil menunggu korban persembahan untuknya dari keluarga dan kerabatnya lewat upacara pemakaman, arwah tadi dipercaya tetap akan memperhatikan dari dekat kehidupan keturunannya.
Oleh karena itu, upacara kematian menjadi penting dan semua aluk yang berkaitan dengan kematian sedapat mungkin harus dijalankan sesuai ketentuan. Sebelum menetapkan kapan dan di mana jenazah dimakamkan, pihak keluarga harus berkumpul semua, hewan korban pun harus disiapkan sesuai ketentuan. Pelaksanaannya pun harus dilangsungkan sebaik mungkin agar kegiatan tersebut dapat diterima sebagai upacara persembahan bagi tomembali puang mereka agar bisa mencapai puyo alias surga
Jika ada bagian-bagian yang dilanggar, katakanlah bila yang meninggal dunia itu dari kaum bangsawan namun diupacarakan tidak sesuai dengan tingkatannya, yang bersangkutan dipercaya tidak akan sampai ke puyo. Rohnya akan tersesat. Sementara bagi yang diupacarakan sesuai aluk dan berhasil mencapai puyo, dikatakan pula bahwa keberadaannya di sana juga sangat ditentukan oleh kualitas upacara pemakamannya. Dengan kata lain, semakin sempurna upacara pemakaman seseorang, maka semakin sempurnalah hidupnya di dunia keabadian yang mereka sebut puyo tadi.
    To na indanriki’ lino
    To na pake sangattu’
    Kunbai lau’ ri puyo
    Pa’ Tondokkan marendeng
Kita ini hanyalah pinjaman dunia yang dipakai untuk sesaat. Sebab, di puyo-lah negeri kita yang kekal. Di sana pula akhir dari perjalanan hidup yang sesungguhnya.
Bisa dimaklumi bila dalam setiap upacara kematian di Tana Toraja pihak keluarga dan kerabat almarhum berusaha untuk memberikan yang terbaik. Caranya adalah dengan membekali jiwa yang akan bepergian itu dengan pemotongan hewan-biasanya berupa kerbau dan babi-sebanyak mungkin. Para penganut kepercayaan Aluk Todolo percaya bahwa roh binatang yang ikut dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah orang yang meninggal dunia tadi menuju ke puyo.
Kepercayaan pada Aluk Todolo pada hakikatnya berintikan pada dua hal, yaitu padangan terhadap kosmos dan kesetiaan pada leluhur. Masing-masing memiliki fungsi dan pengaturannya dalam kehidupan bermasyarakat. Jika terjadi kesalahan dalam pelaksanaannya, sebutlah seperti dalam hal “mengurus dan merawat” arwah para leluhur, bencana pun tak dapat dihindari.
Berbagai bentuk tradisi yang dilakukan secara turun-temurun oleh para penganut kepercayaan Aluk Todolo-termasuk ritus upacara kematian adat Tana Toraja yang sangat dikenal luas itu-kini pun masih bisa disaksikan. Meski terjadi perubahan di sana-sini, kebiasaan itu kini tak hanya dijalankan oleh para pemeluk Aluk Todolo, masyarakat Tana Toraja yang sudah beragama Kristen dan Katolik pun umumnya masih melaksanakannya. Bahkan, dalam tradisi penyimpanan mayat dan upacara kematian, terjadi semacam “penambahan” dari yang semula lebih sederhana menjadi kompleks dan terkadang berlebihan.
Sebagai contoh, ajaran Aluk Todolo menghendaki agar orang yang meninggal dunia harus segera diupacarakan dan secepatnya dikuburkan. Maksud dari ajaran ini, seperti dikutip oleh M Ghozali Badrie dalam penelitiannya tentang “Penyimpanan Mayat di Tana Toraja”, supaya keluarga yang ditinggalkan dapat melaksanakan upacara-upacara lain yang bersifat kegembiraan. Sebab, adalah pamali atau melanggar ketentuan aluk bila upacara kegembiraan (rambu tuka’) dilaksanakan bila ada orang mati (to mate). Lalu apa yang terjadi? Untuk mengatasi hal yang berlawanan ini, masyarakat Tana Toraja lalu mengatakan, mayat tersebut belum mati, tetapi dianggap sebagai orang yang masih sakit (to makula). Dengan begitu, mereka yang ingin melaksanakan upacara rambu tuka’ tidak terhalang hanya karena ada mayat di kampung tersebut.
Mengapa tradisi yang berangkat dari kepercayaan Aluk Todolo itu masih terus bertahan, bahkan di kalangan mereka yang sudah memeluk agama Kristen dan Katolik? Memang tak mudah untuk menemukan jawabannya. Masing-masing mempunyai argumentasi yang bila disederhanakan adalah wujud dari pewarisan tradisi dan bukan esensi kepercayaannya sebagai bagian dari agama masa lalu.
“Sebagai adat, saya tidak melihat adanya pertentangan dengan gereja,” kata Pastor Stanislaus Ambalinggi’ Damen.
Bahkan, Pastor Stanislaus melihat kalau saja gereja bisa menangkap dasar dari semua itu, ada kemungkinan iman Kristiani di kalangan pemeluk Katolik di Tana Toraja akan lebih tertanam. “Ini yang kami usahakan, yakni bagaimana mengungkapkan apa yang diimani orang Tana Toraja dalam adatnya bisa saling isi dengan ajaran Kristiani,” kata putra ke-7 (alm) Felix Damen, yang pada pekan ketiga Oktober lalu melangsungkan upacara pemakaman adat Tana Toraja bagi orangtuanya.
Sebagai orang Tana Toraja, Pastor Stanislaus menyatakan, upacara kematian untuk sang bapak yang ia adakan bersama saudara-saudaranya itu lebih dimaksudkan sebagai ungkapan kerinduan, ungkapan kasih, terhadap orang yang sudah meninggal. Lebih dari itu, tambahnya, bagi orang Tana Toraja ada kesadaran yang muncul lewat upacara semacam ini, yakni bahwa dunia ini tidak habis setelah kita meninggal dunia. Sebaliknya, kehidupan yang sesungguhnya masih akan dilanjutkan ke dunia di “seberang” sana.
“Upacara ini hanya jalan saja untuk menuju ke dunia ’seberang’ sana itu. Ini menyangkut kesadaran akan kehidupan rohani orang Tana Toraja,” katanya.
Menyimak kenyataan yang terpapar, tampaknya tradisi yang diwariskan ajaran Aluk Todolo-khususnya dalam ritus-ritus pada upacara kematian-masih akan terus bertahan. Entah hingga kapan! Meski di lain pihak banyak yang mengecam bahwa upacara semacam itu hanyalah bentuk lain dari pemborosan, namun kuatnya ikatan sosial di Tana Toraja berikut sistem yang melingkupinya- termasuk semangat per-”lomba”-an untuk meningkatkan status dan gengsi dalam masyarakat-jangan-jangan justru akan semakin mengukuhkan ritus-ritus semacam itu.
Atau, akankah suatu saat berbagai tradisi tersebut akan pupus, ditendang oleh kemajuan zaman?
“Saya tidak khawatir ini semua akan hilang. Yang saya khawatirkan justru kalau orang membuatnya sekadar untuk show, sebagai performace. Kalau itu yang terjadi, cuma untuk gengsi-gengsian, kerugianlah yang didapat. Upacara ini memang bukan show, tetapi penghayatan/doa kita pada yang meninggal supaya hidupnya di sana menjadi baik,” kata Pastor Stanislaus.
Hal senada juga dikemukakan Tinting dari desa adat Ke’te’ Kesu’. Dia berkata, “Di satu sisi memang terlihat terjadi pemborosan. Padahal, di balik itu semua ada falsafah lain. Falsafat hidup setelah mati.”
Jika demikian halnya, mengapa tidak sebaiknya upacara-upacara kematian itu disederhanakan?
Pemakaman
Peti mati yang digunakan dalam pemakaman dipahat menyerupai hewan (Erong). Adat masyarakat Toraja adalah menyimpan jenazah pada tebing/liang gua, atau dibuatkan sebuah rumah (Pa’tane).
Beberapa kawasan pemakaman yang saat ini telah menjadi obyek wisata, seperti di :
  1. Londa, yang merupakan suatu pemakaman purbakala yang berada dalam sebuah gua, dapat dijumpai puluhan erong yang berderet dalam bebatuan yang telah dilubangi, tengkorak berserak di sisi batu menandakan petinya telah rusak akibat di makan usia. Londa terletak di desa Sandan Uai Kecamatan Sanggalai’ dengan jarak 7 km dari kota Rantepao, arah ke Selatan, Gua-gua alam ini penuh dengan panorama yang menakjubkan 1000 meter jauh ke dalam, dapat dinikmati dengan petunjuk guide yang telah terlatih dan profesional.
  2. Lemo adalah salah satu kuburan leluhur Toraja, yang merupakan kuburan alam yang dipahat pada abad XVI atau setempat disebut dengan Liang Paa’. Jumlah liang batu kuno ada 75 buah dan tau-tau yang tegak berdiri sejumlah 40 buah sebagai lambang-lambang prestise, status, peran dan kedudukan para bangsawan di Desa Lemo. Diberi nama Lemo oleh karena model liang batu ini ada yang menyerupai jeruk bundar dan berbintik-bintik.
  3. Tampang Allo yang merupakan sebuah kuburan goa alam yang terletak di Kelurahan Sangalla’ dan berisikan puluhan Erong, puluhan Tau-tau dan ratusan tengkorak serta tulang belulang manusia. Pada sekitar abad XVI oleh penguasa Sangalla’ dalam hal ini Sang Puang Manturino bersama istrinya Rangga Bualaan memilih goa Tampang Allo sebagai tempat pemakamannya kelak jika mereka meninggal dunia, sebagai perwujudan dari janji dan sumpah suami istri yakni “sehidup semati satu kubur kita berdua”. Goa Tampang Alllo berjarak 19 km dari Rantepao dan 12 km dari Makale.
  4. Liang Tondon lokasi tempat pemakaman para Ningrat atau para bangsawan di wilayah Balusu disemayamkan yang terdiri dari 12 liang.
  5. To’Doyan adalah pohon besar yang digunakan sebagai makam bayi (anak yang belum tumbuh giginya). Pohon ini secara alamiah memberi akar-akar tunggang yang secara teratur tumbuh membentuk rongga-rongga. Rongga inilah yang digunakan sebagai tempat menyimpan mayat bayi.
  6. Patane Pong Massangka (kuburan dari kayu berbentuk rumah Toraja) yang dibangun pada tahun 1930 untuk seorang janda bernama Palindatu yang meninggal dunia pada tahun 1920 dan diupacarakan secara adat Toraja tertinggi yang disebut Rapasan Sapu Randanan. Pong Massangka diberi gelar Ne’Babu’ disemayamkan dalam Patane ini. tau-taunya yang terbuat dari batu yang dipahat . Jaraknya 9 km dari Rantepao arah utara.
  7. Ta’pan Langkan yang berarti istana burung elang. Dalam abad XVII Ta’pan Langkan digunakan sebagai makam oleh 5 rumpun suku Toraja antara lain Pasang dan Belolangi’. Makam purbakala ini terletak di desa Rinding Batu dan memiliki sekian banyak tau-tau sebagai lambang prestise dan kejayaan masa lalu para bangsawan Toraja di Desa Rinding Batu. Dalam adat masyarakat Toraja, setiap rumpun mempunyai dua jenis tongkonan tang merambu untuk manusia yang telah meninggal. Ta’pan Langkan termasuk kategori tongkonan tang merambu yang jaraknya 1,5 km dari poros jalan Makale-Rantepao dan juga dilengkapi dengan panorama alam yang mempesona.
  8. Sirope yang artinya “bertemu” adalah salah satu tempat pekuburan yang merupakan situs purbakala, dimana masyarakat membuat liang kubur dengan cara digantung pada tebing atau batu cadas. Lokasinya 2 km dari poros jalan Makale-Rantepao.
Tempat upacara pemakaman adat
Rante yaitu tempat upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan 100 buah menhir/megalit yang dalam Bahasa toraja disebut Simbuang Batu. 102 bilah batu menhir yang berdiri dengan megah terdiri dari 24 buah ukuran besar, 24 buah ukuran sedang dan 54 buah ukuran kecil. Ukuran menhir ini mempunyai nilai adat yang sama, perbedaan tersebut hanyalah faktor perbedaan situasi dan kondisi pada saat pembuatan/pengambilan batu. Megalit/Simbuang Batu hanya diadakan bila pemuka masyarakat yang meninggal dunia dan upacaranya diadakan dalam tingkat Rapasan Sapurandanan (kerbau yang dipotong sekurang-kurangnya 24 ekor).
Tau-tau
Tau-tau adalah patung yang menggambarkan almarhum. Pada pemakaman golongan bangsawan atau penguasa/pemimpin masyarakat salah satu unsur Rapasan (pelengkap upacara acara adat), ialah pembuatann Tau-tau. Tau-tau dibuat dari kayu nangka yang kuat dan pada saat penebangannya dilakukan secara adat. Mata dari Tau-tau terbuat dari tulang dan tanduk kerbau. Pada jaman dahulu kala, Tau-tau dipahat tidak persis menggambarkan roman muka almarhum namun akhir-akhir ini keahlian pengrajin pahat semakin berkembang hingga mampu membuat persis roman muka almarhum.
 

Entri BlogTuo Umpamisa' Inaya / SangmanetaAug 2, '08 9:23 AM
untuk
Inang melo siami ke tuoki'
Umpamisa' inaya lan pa'rapuan
Inang laen siami ia tu tau
Ke umpulungngi pa' inayan

Apara upa'na tomai tau
Tu to untambuk essun lako padanna
Tontong untannun sanda kadake
Umpalele beko sangbara'na

Da'ta sisumpa' sia sitobangan
Mabiri' untiro dalle'na tau senga'
Ta pa'budai tu kameloan
Ta pari parri tu lata porapa'na

Iamo kita to mana'ta e siulu'
Diomai nene' todolota
Lasituntun tua' sitande paraya
Anta tuo marudindin

Entri BlogTINGKATAN RAMPANAN KAPA'Jun 10, '08 11:09 AM
untuk
TINGKATAN RAMPANAN KAPA'
(Toraja dan Kebudayaannya / Edisi III / L. T. Tangdilintin / Yalbu / 1978)

Tingkat-tingkat perkawinan di Tana Toraja lasimnya dilakukan menurut kasta atau tana’ dari kedua belah pihak yang dikawinkan itu tetapi pada dasarnya harus tunduk pada dasar atau kedudukan sang perempuan umpamanya seorang laki-laki berasal dari Tana' Bulaan dan kawin dengan perempuan asal Tana' Bassi, maka yang menjadi patokan dalam perkawinan ini adalah Tana' dari pada perempuan dan nilai hukumnya adalah Tana' Bassi dengan 6 (enam) ekor kerbau Sangpala’.
Demikianlah maka perkawinan itu dilakukan dalam 3 cara. Hai itu ditentukan oleh kemampuan dari yang mengadakan perkawinan dan ketiga cara ini tidak dititikberatkan pada adanya tana’ atau dengan kata lain cara kawin ini ditentukan saja oleh waktu perkawinan dan karena itu maka dikenallah tiga macam waktu serta menjadi pula tiga tingkatan masing-masing:
  1. Perkawinan dengan cara sederhana yang dinamakan Bo’bo’ Bannang yaitu perkawinan yang dilakukan pada malam harinya dengan tamu-tamu hanya dijamu dengan lauk-pauk ikan-ikan saja, dan umumnya hanya pengantar laki-aki saja dua atau tiga orang yang juga sebagai saksi dalam perkawinan itu. Ada kalanya dipotong pula satu dua ekor ayam untuk jamuan dari pengantar laki-laki.
  2. Perkawinan yang menengah yang dinamakan Rampo Karoen artinya perkawinan dilakukan pada sore harinya di rumah perempuan dengan mengadakan sedikit acara pantun-pantun perkawinan setelah malam pada waktu hendak makan dari wakil-wakil kedua belah pihak dihadapan saksi-saksi adat yang mendengar pula keputusan hukum dan ketentuan-ketentuan perkawinan yang selalu berpangkal dari nilai hukum tana’ yang sudah dikatakan diatas. Pada perkawinan Rampo Karoen ini dipotong seekor babi untuk menjadi lauk pauk para tamu-tamu yang hadir dan pemerintah adat itu disamping ayam sesuai dengan kemampuan dan banyaknya yang hadir.
  3. Perkawinan yang tinggi dengan acara yang dinamakan Rampo Allo yaitu perkawinan yang diatur atau dilaksanakan pada waktu matahari masih kelihatan sampai malam dengan mengurbankan 2 (dua) ekor babi dan ayam seadanya sebagai syarat tetapi boleh juga lebih dari pada itu sesuai dengan kemampuan dari keluarganya.Perkawinan yang dikatakan Rampo Allo itu memakan waktu agak lama tidak sama dengan cara perkawinan yang disebutkan diatas, maka perkawinan demikian itu umumnya dilakukan oleh keluarga Tana' Bulaan yang berkesanggupan tetapi kasta Tana' Bassi sangat jarang melakukannya apalagi Tana' Karurung dan Tana' Kua-Kua .
Sebelum sampai kepada hari inti perkawinan jikalau cara Rampo Allo, harus melaksanakan beberapa hal sebagai acara pendahuluan dalam perkawinan ini masing-masing:
  1. Palingka Kada, artinya mengutus utusan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk berkenalan dan mencari tahu apakah ada ikatan perempuan itu, dan menyampaikan akan ada hajat melamar
  2. Umbaa Pangngan artinya mengatur dan mengantar sirih pinang dengan mengirim utusan laki-laki yang membawa sirih pinang tersebut yang dibungkus dalam satu tempat yang dinamakan Solong (pelepah pinang), yang mula-mula diantao oleh tiga orang perempuan yang langsung disampaikan pada ibu atau nenek dari sang perempuan. Cara mengantar sirih pinang ini dilakukan 3 kali baru mendapat kepastiannya yang jalannya sebagai berikut:
    • Mengutus 4 (empat) orang dengan 3 (tiga) perempuan sebagai pernyataan lamaran.
    • Mengutus 8 (delapan) orang sebagai pernyataan pelamar datang menunggu jawaban pinangan.
    • Mengutus 12 (dua belas) orang sebagai tanda bahwa  lamaran yang sudah diterima dan utusan datang atas nama keluarga akan membicarakan waktu dan tanggal perkawinan, dan pada waktu itu utusan sudah boleh datang di rumah pengantin perempuan
  3. Urrampan Kapa’ artinya membicarakan tana’ perkawinan untuk  menentukan besarnya hukuman yang akan dijatuhkan sesuai dengan tana’ keduanya jikalau ada yang merusak rumah tangga dibelakang hari yang dinamakan Kapa’
  4. Dinasuan / dipandanni langngan artinya perkawinan sudah berjalan dan sudah memakan makanan pada rumah masing-masing keduanya berganti-ganti dan telah mengadakan pengiriman makanan dalam dua buah bakul dan dipikul dengan penggali, dan bakul ini dinamakan Bakku’ Barasang. Pada kesempatan ini wakil dari laki-laki yang dinamakan  To Umbongsoran Kapa’ hadir bersama-sama dengan wakil dari perempuan yang dinamakan To Untimangan Kapa’. Kedua belah pihak berganti-ganti mengucapkan syair dan pantun perkawinan dan mengungkap pula bagaimana mulianya perkawinan atau Rampanan Kapa' pada mulanya dihadapi oleh Puang Matua (Sang Pencipta) di atas langit serta mengungkap pula bagaimana perkawinan raja-raja dahulu kala yang harus menjadi contoh kepada manusia-manusia yang berasal dari kasta bangsawan/Tana' Bulaan.
  5. Sesudah tiga hari, maka tiba pada hari acara makan balasan di rumah laki-laki untuk mengakhiri perkawinan damn melaksanakan yang dikatakan Umpasule Barasang yaitu bakul berisi makanan yang telah dibawa oleh wakil perempuan ke rumah laki-laki, kini dikembalikan ke rumah perempuan dan inilah yang dikatakan Umpasule Barasang. Bakku Barasang ini berisi makanan yaitu nasi dan daging babi serta beberapa bentuk kiasan (anak babi, kerbau, ayam, dll) yang dibuat dari tepung beras namanya Kampodang, yang setibanya di rumah perempuan akan dimakan pula bersama, dan sesudah makan bersama, keluarga-keluarga pihak laki-laki kembali dan laki-laki tinggallah terus di rumah perempuan/orang tua perempuan.
Dalam perkawinan di Tana Toraja sudah dikatakan bahwa tidak ada kurban persembahan dan kurban sajian, karena babi yang dipotong oleh keluarganya itu hanya semata-mata menjadi lauk-pauk bagi seluruh orang yang hadir pada perkawinan itu serta diberikan kepada pelaksana upacara perkawinan seperti anggota dewan adat, wakil keluarga, serta saksi-saksi lainnya, yang pada waktu acara makan disusunlah Pinggan Adat namanya Dulang yang berisi nasi dan daging babi yang disusun atau disediakan menurut tingkat kasta yang kawin, yang pada waktu melihatnya terus diketahui bahwa orang yang kawin ini berasal dari kasta Tana' Bulaan ataukah Tana' Bassi dan dibawah ini susunan dulang dari Tana' Bulaan yaitu Rampanan Kapa' Rampo Allo sebagai berikut:
  1. Dua Dulang untuk pengantar kedua belah pihak atau wakil dari kedua mempelai.
  2. Dua Dulang untuk orang yang membawa kayu bakar dan orang yang datang membawa sirih pinang.
  3. Dua Dulang untuk wakil orang tua kedua belah pihak.
  4. Dua Dulang dari ketua adat sebagai saksi dan mensahkan Rampanan Kapa' (perkawinan).
  5. Satu Dulang untuk tempat makan bersama kedua mempelai dan pada saat makan bersama mempelai perempuan menyuapi mempelai laki-laki dan sebaliknya, kemudian seluruh hadirin makan bersama dari masing-masing dulang tersebut.
Penyusunan dulang seperti di atas adalah untuk perkawinan dari kasta Tana' Bulaan dengan susunan 9 (sembilan) dulang.
Dengan adanya perkawinan semacam ini, maka sering pula terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam hubungan baik sebelum kawin atau pun sesudah kawin sampai terjadi perceraian, maka diantara suami isteri itu salah satunya yang membuat pelanggaran mendapat hukuman menurut hukum perkawinan yang sudah tertentu yang didasarkan pada nilai hukum Tana; dan hukuman yang dijatuhkan itu dinamakan Kapa’, yang jumlah Kapa’ itu sama dengan nilai Tana’ dari yang akan dibayar dan bukan berdasar pada nilai hukum Tana’ yang bersalah.
Penentuan hukuman dengan nilai hukum Tana’ adalah dilakukan oleh dewan adat yang diumumkan dalam satu sidang atau musyawarah adat dimana hadir kedua suami isteri serta keluarga kedua belah pihak.
Pelanggaran di dalam hubungan adat perkawinan di Tana Toraja antara lain:
  1. Songkan Dapo’, artinya bercerai/pemutusan perkawinan yaitu yang bersalah dapat dihukum dengan hukuman Kapa’ dengan membayar kepada yang tidak bersalah sebesar nilai Hukum Tana’ yang telah disepakati pada saat dilakukan perkawinan dahulu.
  2. Bolloan Pato’, artinya pemutusan pertunangan yang sudah disahkan oleh adat yang dinamakan To Sikampa (to=orang;sikampa=saling menunggui) dan setelah menunggu saatnya duduk bersanding makan dari Dulang (Rampanan Kapa' ), maka yang sengaja memutuskan pertunangan itu tanpa dasar harus membayar kapa’ kepada yang tidak bersalah sesuai dengan nilai hukum tana’nya, kecuali jikalau terdapat pertimbangan lain dari pada dewan adat.
  3. Unnampa’ daun talinganna, artinya orang yang tertangkap basah, maka laki-laki itu harus membayar kapa’ kepada orang  tua perempuan jikalau tak dapat dikawinkan terus seperti karena halangan kastanya tidak  sama atau dilarang oleh adat, dan demikian pula perempuan harus mendapat hukuman tertentu pula jika kastanya lebih tinggi dari laki-laki.
  4. Unnesse’ Randan Dali’, artinya laki-laki membuat persinahan dengan perempuan yang lebih tinggi tana’nya, maka laki-laki itu dihukum dengan membayar kapa’ sesuai dengan nilai hukum tana’ dari perempuan.
  5. Unteka’ Palanduan atau Unteka’ Bua Layuk yaitu perempuan kasta tingkat tinggi kawin dengan laki-laki kasta tingkat rendahan. Keduanya ada hukumnnya seperti hukuman Dirampanan atau Diali’.
  6. Urromok Bubun Dirangkang, artinya bersinah dengan perempuan janda yang baru meninggal suaminya dan belum selesai diupacarakan pemakaman suaminya, maka laki-laki itu harus membayar kapa’ dengan nilai hukum tana’ perempuan karena tak dapat dkawinkan sebelum upacara pemakaman dari suami perempuan itu, kecuali menunggu sampai upacara pemakaman dari suami perempuan itu selesai tetapi sebelum kawin harus mengadakan upacara mengaku-aku lebih dahulu dan kapa’ yang dibayar itu diterima oleh keluarga dari suami perempuan janda itu.
  7. Dan lain-lain
Notes :
(menurut Sando Ne’ Tato’ Dena’ : Strata Perkawinan Tertinggi di Toraja adalah Rampanan Kapa’na Bambalangi’ (Anak dari Puang Rambulangi’ dari Mandetek) dengan Akan (Anak dari Puang Pata’dungan (Nonongan) X Puang Akan (Lemo)), karna Bambalangi’ rampo ma’ eran tau tonna mangrampanni kapa’ sementara Akan adalah cucu dari To Ma’Eran Tau di Tumika, Lemo yaitu Puang Kora’)



Entri BlogTARIAN PITU (SISTEM PERADILAN DI TORAJAJun 10, '08 10:25 AM
untuk
TARIAN PITU
(Tujuh Peradilan Adat Toraja)
(TORAJA DAN KEBUDAYANNYA /EDISI III / L.T. TANGDILINTIN / YALBU / 1978)
Sebelum pemerintah Hindia Belanda menguasai Tana Toraja yaitu sebelum tahun 1906, di Tana Toraja berlaku peradilan adat Toraja yang dinamakan Tarian Pitu atau Ra’ Pitu (tujuh bentuk peradilan) yang sampai sekarang masih sering berlaku atau dilaksanakan pada pengadilan adat di tempat yang jauh dari kota dimana sudah berlaku peradilan yang diatur oleh hukum pengadilan negeri.
Tujuh bentuk peradilan tersebut adalah cara mengadili atau menyelesaikan persengketaan atau pertentangan dari dua pihak yang bersengketa yang tak dapat lagi diselesaikan bersama dengan mempergunakan saksi-saksi dan bukti – bukti yang nyata yang dipergunakan oleh peradilan adat mendamaikan atau menyelesaikan persengketaan, maka diberikan kesempatan kepada kedua belah pihak yang bersengketa memilih salah satu dari ketujuh bentuk peradilan yang sudah tertentu itu untuk mengakhiri atau menyelesaikan perselisihan itu serta mendapatkan keputusan yang berlaku mutlak atau berkekuatan tetap.
Menurut sejarah Toraja umumnya dahulu kala seluruh daerah Tana Toraja menghormati dan mentaati peradilan dengan Tarian pitu karena berpangkal pada ajaran Aluk Todolo yang menyatakan bahwa peradilan demikian sejak dari dulu kala memang sudaha daerah adat, yang menurut mitos peradilan pitu serta sejarah peradilan di Tana Toraja terjadi dahulunya di atas langit pada waktu nenek pertama manusia belum turun ke bumi.
Itulah sebabnya maka seluruh masyarakat Toraja yang masih menganut Aluk Todolo sangat yakin dan percaya akan kekuatan dan kedudukan dari Tarian Pitu tersebut, yang dalam melaksanakannya harus terlebih dahulu dimintakan doa berkat dan kekuatan kepada sang Maha Kuasa serta dengan sumpah dan kutuk pula oleh penghulu Aluk Todolo kemudian peradilan ini dilaksanakan.
Juga peradilan dengan cara Tarian Pitu ini dilakukan jikalau tiba-tiba di suatu tempat tidak terdapat orang lain/pihak lain sebagai penengah dalam perselisihan dua orang yang berselisih, maka keduanya memilih saja salah satu dari ketujuh bentuk peradilan dari tarian Pitu, dan keduanya menyandarkan atau mendoakan kepada Yang maha Kuasa agar diberkati dalam perselisihan dengan penyelesaian cara melakukan Tarian Pitu.
Jika kedua yang berselisih terus melakukannya tanpa ada orang lain yang menyaksikannya, dan setelahs elesai ada pihak yang ternyata kalah, maka keduanya mentaatinya sebagai suatu keputusan yang berlaku mutlak dan ditaati keduanya.
Tarian Pitu tidak lain dari pada cara pertarungan secara langsung kedua pihak yang berselisih tanpa bantuan orang lain yang dilakukan dalam waktu singkat saja terus diketahui siapa yang bersalah atau kalah dan siapa yang benar atau menang, yang keduanya puas serta mentaatinya, karena diyakini telah mendapat berkat dari Tuhan yang maha Kuasa.
Tarian Pitu yang dimaksudkan tersebut di atas adalah masing-masing:
  1. Si Pentetean tampo/Siba’ta Tungga’ (perang tanding satu lawan satu), yaitu satu cara peradilan dari Tarian pitu yang paling berat karena perkelahian atau pertarungan satu lawan satu dengan menggunakan Tombak atau pedang yang tajam, yang dilakukan di atas pematang sawah dimana kiri kanannya digenangi air, atau dengan cara membuatkan satu kurungan dalam bentuk persegi empat yang dipagar kuat-kuat dan kedua orang yang brsengketa mengadu kekuatan dan ketangkasannya dalam kurungan atau gelanggang tersebut. Sebelum melakukan perkelahian keduanya disumpah oleh penghulu Aluk Todolo atau Tominaa dengan doa barang siapa yang tidak benar akan hancur dan kalah dan yang benar tidak akan apa-apa, sesudahnya digiring masuk ke gelanggang dengan disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak. Pelaksanaan Sipentetean Tampo atau Siba’ta Tungga’ ini dihadiri pula oleh dewan pemerintah adat dimana keduanya mengadakan pertarungan itu, yang dalam waktu beberapa menit saja terjadi kurban dari kedua orang yang bertarung yang ada kalanya seorang kurban tetapia daerah ada pula yang kedua-duanya kurban (gugur). Hasil dari pertarungan itu setelah selesai segera diumumkan oleh dewan adat siapa yang kalah dan siapa yang menang dimana seluruh keluarganya menerima sebagai suatu keputusan yang berlaku mutlak, karena didasarkan atas keyakinan mereka bahwa kebenaran yang berbicara yang dalam masyarakat Toraja dikatakan  Ma’pesalu artinya sesuai kebenaran.
  2. Siukkunan, yaitu satu cara peradilan dimana kedua belah pihak yang berselisih disuruh menyelam bersama-sama ke dalam air sungai dan barang siapa yang lebih dulu muncul di permukaan air maka dialah yang kalah dalam perselisihan, yang juga sebelum melakukan itu keduanya disumpah lebih dulu oleh penghulu Aluk Todolo. Hasil pertarungan dengan menyelam ini segera diumumkan oleh dewan adat sebagai suatu keputusan yang berlaku  mutlak  atau berkekuatan tetap.
  3. Sipakoko, yaitu suatu cara peradilan dimana dua orang bersengketa/berselisih disuruh mencelupkan tangan ke dalam air panas yang mendidih, juga didahului dengan doa dan kutuk dari penghulu Aluk Todolo kemudian secara serentak keduanya mencelupkan tangan ke dalam air panas, dan barang siapa yang lebih dahulu menarik tangannya dari dalam air panas, maka dialah yang dinyatakan kalah dalam perselisihan itu yang hasilnya segera diumumkan oleh dewan adat sebagai keputusan yang berlaku mutlak dan berkekuatan tetap.
  4. Silondongan, yaitu suatu cara peradilan dari dua orang atau pihak yang berselisih dimana kedua belah pihak memilih satu ayam jantan masing – masing kemudian diserahkan kepada penghulu Aluk Todolo untuk dikutuk dan didoakan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan kedua ayam itu dipakaikan taji atau pisau, dan dipertarungkan pada saat itu juga dihadapan Dewan Adat dimana kedua belah pihak yang bersengketa itu berada.Menurut keyakinan mereka itu bahwa orang yang benar ayamnya akan menang dan orang yang salah ayamnya akan kalah atau mati. Dan hasil pertarungan ayam ini segera diumumkan oleh Dewan Adat yang menghadirinya yang oleh kedua belah pihak mentaatinya sebagai keputusan yang berlaku mutlak dan berkekuatan tetap. Dahulu peradilan Silondongan ini tidak memakai pisau atau taji tetapi sekarang sudah memakai taji karena jikalau tidak memakai taji perkelahian dari dua ayam itu berlangsung lama dan tidak segera memberi keputusan. Menurut mithos dari peradilan silondongan ini adalah memang peradilan yang sudah terjadi di atas langit yang kemudian diturunkan ke bumi pada nenek manusia diikuti seterusnya oleh manusia.
  5. Sibiangan atau sire’tek, yaitu suatu cara peradilan yang sama dengan cara loterei dengan mempergunakan dua bila biang (semacam bambu) yang diberi tanda sebagai tanda pilihan dari orang yang bersengketa yaitu seorang memilih belakangnya dan seorang memilih mukanya, dan kedua pihak berselisih duduk berhadapan di depan penghulu aluk todolo untuk menerima kata – kata sumpah dan doa bahwa barang siapa yang salah akan kalah dan barang siapa yang benar akan menang atau selalu terbuka pilihannya. Cara demikian dilakukan tiga kali berturut yaitu biang dibuang dan siapa yang kurang pilihannya terbuka maka dia akan dinyatakan kalah yaitu dengan perbandingan dua banding satu (2:1) dan atau tiga berbanding nol (3 :0), dan yang mempunyai angka lebih banyak dialah yang dinyatakan benar dan segera diumumkan sebagai keputusan yang berlaku mutlak atau berkekuatan tetap.
  6. Sitempoan yang biasa disebut sisumpah, yaitu dua orang yang berselisih disuruh mengucapkan sumpah keduanya dihadapan dewan adat dimana doa = sumpah diucapkan oleh penghulu aluk todolo lebih dahulu kemudian diulangi dengan tidak salah – salah oleh yang bersengketa bergantian, yang isinya antara lain:“ Puang matua, deata titanan Tallu Esungganna, Tomembali puang laun rimpi’na lan tangngana padang sia tang laun pasitirona’ kameloan sia kamanamanan sae lakona ketangumpokadana’ tang tongan, ...dst. Artinya: Tuhan sang pencipta, Dewa-dewa sang pemeliharaan tiga serangkai dan leluhur akan menghancurkan aku dan penghidupanku serta akan mengutuk aku selama – lamanya jikalau aku tidak berkata benar, ...dst. Dalam mengucapkan sumpah demikian itu, juga menyebut jangka waktu berlakunya sumpah sebagai waktu tempat menunggu akibat-akibat dari sumpah seperti orangnya mati atau suatu malapetaka yang menimpa dirinya. Jangka waktu yang berlaku dalam menunggu hasil dari sumpah yang telah dilakukan itu, oleh masyarakat Toraja mengenal jangka waktu itu dalam 3 (tiga) hari, 6 (enam (hari), 30 (tiga puluh) hari, atau setahun padi (sekali panen). Perhitungan waktu-waktu tersebut dia ini adalah perhitungan waktu yang lasim dan selalu dipergunakan dalam pembagian waktu di Tana Toraja . Peradilan cara demikian berlaku pula pada dua orang yang bersengketa dimana tak ada orang lain sebagai penengah yang dinamakan Sisumpah atau Sipenggatan, yaitu keduanya menyumpah diri berganti-ganti, yang sangat banyak kejadiannya di dalam masyarakat Toraja dengan memegang barang yang menjadi sengketa lalu bersumpah kedua orang yang sedang memegang barang itu. Peradilan sitempoan ini mulai mengalami perubahan sewaktu pengaruh-pengaruh dari luar masuk di Tana Toraja karena cara demikian itu dianggap terlalu kejam karena jikalau dikalah dalam Sitempoan berarti dikalah dua kali yaitu sudah korban dan kemudian dikalah lagi, maka waktu pengaruh Islam mulai masuk yang disusul dengan pengaruh peradilan pemerintah Belanda yang menyatakan bahwa pengambilan sumpah adalah pembuktian kebenaran masalah, dan jikalau seseorang bersedia disumpah maka sumpahnya itu dipercaya dan ketidakbenarannya atau sumpah palsunya sudah ditebus dengan pertaruhan nyawanya. Karena peradilan Sitempoan sudah berubah statusnya sejak beberapa puluh tahun, maka peradilan ini tidak ditakuti lagi oleh masyarakat, karena dianggap sudah agak enteng yaitu asal jangan dikalah biarlah disumpah saja sekalipun ada akibatnya nanti, dan inilah menyebabkan timbulnya sumpah palsu. Pengambilan sumpah pada peradilan adat Toraja masih sering pula terjadi di antara orang yang bersengketa tetapi pelaksanaannya sama dengan cara – cara pengambilan sumpah pada peradilan negeri.
  7. Sirari Sangmelambi’, yaitu satu cara peradilan dalam bentuk perang kelompok yang hanya dilakukan pada subuh dan pagi hari (sirari= perang; sangmelambi’= sepagi). Perang sepagi atau Sirari sangmelambi’ ini adalah bentuk peradilan yang paling akhir terjadi dari pada Tarian Pitu tersebut yaitu peradilan yang menggantikan peradilan adu kekuatan dengan tarik menarik dan tolak menolak seperti yang pernah terjadi dalam pembagian daerah Padang di Puangngi Tallu lembangna, pertarungan adu kekuatan merebut kedudukan yang teratas. Sirari Sangmelambi’ ini ialah seorang atau satu pihak mengarak atau mengumpulkan pengikut lalu menentukan batas untuk diperebutkan siapa yang dapat melintasinya. Sirari Sangmelambi’ ini benar-benar perang mempertahankan daerah tertentu yang dilalukan hanya pada subuh sampai matahari terbit harus dihentikan. Masing-masing  pihak mempertahankan daerahnya dimana terdapat satu pihak penengah yang akan menyaksikan peperangan sepagi itu serta mengawasi jikalau sudah ada diantara yang berperang itu korban, dan jikalau dalam perang terus ada yang korban terus pihak penengah yang mengikutinya berteriak sebagai tanda berhenti karena sudah ada bukti kekalahan yang dikatakan  To’domo Damo’ artinya sudah ada yang luka. Pihak yang luka dinyatakan terus kalah sekalipun kekuatannya lebih besar, dan pada saat itu peperangan terus dihentikan, dan ada yang luka itu dikatakan  kalah perang dan disebut To Ditalo (orang yang kalah), dan segera penguasa adat sebagai penengah mengumumkan siapa yang kalah itu. Sirari Sangmelambi’ itu biasanya dilakukan oleh satu rumpun keluarga atau oleh satu penguasa adat terhadap penguasa adat lainnya yang Sirari Sangmelambi’ ini sangat besar akibatnya tidak sama dengan Tarian Pitu yang lain tersebut diatas. Sering terjadi yang kalah harus menyerahkan seluruh harta bendanya kepada yang menang, dan penyerahan harta keseluruhan itu dikatakan  di pakalao. Sirari sangmelambi’ itu sering terjadi pada waktu mulai berkecamuknya perang saudara di Tana Toraja yaitu sekitar tahun 1800 sampai pada datangnya pemerintahan Belanda.


Tongkonan dan Mitosnya: Dalam Hubungannya Dengan Kerajaan-kerajaan Dataran Rendah di Sulsel(Roxana Waterson)

Lakipadada
Laki Padada dalam beberapa silsilah-silsilah adalah seorang cucu lelaki Tamboro Langi', salah satu To Manurun di Toraja paling terkenal. Ayahnya Puang Sanda Boro menikah dengan seorang yang wanita ia temukan di dalam suatu bambu; dia dipanggil Bu'tu ri Pattung (Orang yang muncul dari Bambu) atau Puang Ao' Gading. Dia melahirkan dua anak-anak, seorang putra, Laki Padada, dan seorang putri, Puang Mate Mangura atau Puang Mate Malolo (kedua-duanya nama-nama berarti Gadis yang meninggal saat masih muda). Dengan perasaan sedih pada kematian saudarinya, Laki Padada bepergian mencari-cari rahasia tentang hidup kekal. Perjalanannya pada akhirnya membawa dia kepada kerajaan Goa. Di sini setelah banyak petualangan ia menikah dengan Karaeng Andi Tara Lolo putri Kerajaan Goa.
 Dari tiga putra mereka, Pattala Merang, menjadi penguasa Goa (Somba ri Goa) ;yang kedua, Pattala Bunga, menjadi penguasa Luwu' (Payung ri Luwu), selagi yang ketiga, Pattala Bantan, kembali ke Toraja dan menikah dengan Petimba Bulaan,(diceritakan adalah anak atau cucu putri dari Datu Manaek, pendiri dari tongkonan Nonongan). Pattala Bantan pergi ke Sangalla' (Matasak ri Sangalla’) dan menguasai bagian dari Toraja yang dikenal sebagai Tallu Lembangna yang terdiri dari Ma'kale, Sangalla' dan Mengkendek. Kemudian keturunan-keturunan dari Laki Padada dikatakan menikah dengan keluarga dari kerajaan Bone. Hubungan ini masih diakui oleh keluarga-keluarga yang kerajaan ini.


Talisiba’ba
Kisah lain menceriterakan bagaimana Toraja mengatur tipuan untuk memperdaya Datu Luwu'. Masih berhubungan dengan seorang pahlawan, yang dikenal di Kesu' sebagai Tali Siba'ba, ibunya adalah seekor babi yang liar. Ia mengawini putri dari Luwu' dan dengan diam-diam memasukkan ibunya ke dalam istana di atas loteng kecil. Dia melarang penduduk setempat untuk makan daging babi sebagai rasa hormat padanya. Ini diklaim sebagai alasan mengapa orang-orang Luwu' (yang telah Muslim sejak awal abad yang ketujuhbelas) tidak makan daging babi. Dalam sebuah cerita, akhirnya dia mengubah namanya menjadi Karaenge Dua (yang mulia dari Luwu' dan Toraja).

Bonggakaradeng
Satu cerita hampir serupa berhubungan dengan para putra Bonggakaradeng, suatu pandai besi; tetapi dalam hal ini berhubungan dengan Bugis tepatnya Sawitto (Pinrang sekarang ini), yang berdampingan dengan Toraja Barat dan daerah-daerah Bonggakaradeng dan Simbuang. Bonggakaradeng datang dari Kampung Batu Tandung, dekat Sungai Masuppu.
 Ia adalah orang lain yang menemukan istrinya di dalam bambu; namanya adalah Datu Baringan, yang mempunyai saudara seekor ular sanca.Suatu ketika ia berjalan dari dalam hutan setelah berburu, Bonggakaradeng beristirahat di bawah satu pohon uru pada suatu tempat yang disebut Pokka Uru di Buttu Karua (suatu gunung di Simbuang). Ia buang air kecil dekat pohon tumbang, tanpa sepengetahuannya, ia telah menghamili roh seekor babi di dalam pohon itu. Babi melahirkan anak-anak lelaki kembar, Buttu Karua dan Buttu Layuk. Ketika mereka berusia sekitar enam tahun, ibu mengirim mereka untuk mencari ayah mereka, dan mereka datang ke tempat di mana Bonggakaradeng sedang bekerja sebagai pandai besi. Mereka membantu Bonggakaradeng untuk bekerja, tetapi ia menolak. Tetapi selagi ia sedang makan siang di dalam rumah, mereka menyelesaikan semua pekerjaannya. Menurut versi lain, mereka membuat suatu pedang dari emas (la'bo' penai bulawan) yang disebut Tonapa. Pedang ini menjadi suatu pusaka yang terkenal dimana sarung pelindungnya masih bertahan Sawitto, dan mata pedanganya di Simbuang. Pada akhirnya mereka meyakinkan Bonggakaradeng yang terkejut bahwa ia sungguh ayah mereka, dan tinggal untuk sementara waktu, tapi karna kegemaran Bonggakaradeng makan daging babi, mereka kembali dengan perahu menyusuri Sungai Masuppu, mengambil ibu mereka,dan menuju Sawitto, di mana ibu babi pada akhirnya berubah menjadi batu. Mereka membuat sihir di sana, menyebabkan langit gelap kecuali di sekitar rumah mereka sendiri, sampai orang-orang lokal yang memohon suatu penjelasan.
 Saudara laki-laki mengatakan bahwa mereka mengembalikan cahaya matahari jika orang-orang itu akan setuju untuk selalu menunjukkan rasa hormat mereka untuk berpantang makan daging babi atau daging segala binatang bahwa mati tanpa disembelih. Dengan demikian Orang Bugis menjadi Muslim, Kemudian keduanya menikah dengan para putri keluarga aristokratis yang besar, dan mempunyai beberapa anak-anak yang menjadi para nenek moyang penting di wilayah itu. Hal ini yang membuat orang di Simbuang seringkali mengatakan: nene' Simbuang, appo Sawitto, atau "Simbuang adalah kakek dan Sawitto adalah cucu". Dengan jelas ini adalah satu usaha untuk menyatakan hak yang lebih tinggi atas Sawitto, yang menarik karena, seperti halnya dalam kasus dari hubungan-hubungan Toraja-Luwu', secara obyektif Sawitto adalah suatu kerajaan lebih tangguh. Menurut Bigalke (1981:25), dari abad 17 ke 19 Simbuang ditarik ke dalam kerajaan kecil ini; Orang-orang Belanda, kemudian memasukkan Simbuang ke dalam wilayah administratif Ma'kale sebagai hukuman untuk Sawitto atas serangannya pada pasukan Belanda.

Bulu Nanga
 Di Sa'dan dan Balusu, bagian timur laut dari Toraja yang berbatasan dengan Luwu', dikisahkan tentang pahlawan dari Sa'dan bernama Bulu Nanga. Ketika Bulu Nanga bepergian dengan para pengikut dan para budaknya untuk membeli kerbau liar dan garam di Palopo. Penjaga-penjaga dari Datu dari Luwu' yang melihat dia mandi di dalam sungai danmenarik perhatiannya, melapor kepada Datu Luwu. Bulu Nanga menikah dengan putri Datu itu, dan pedangnya, yang disebut La Karurung, disebut masih bertahan istana pada Palopo.

Sawerigading
Di pihak lain tokoh dalam cerita Toraja diambil dari tokoh Bugis. Satu contoh adalah Sawerigading, ayah La Galigo, dimana petualangannya banyak dikisahkan dalam syair kepahlawanan Bugis dari I La Galigo dan terkenal di Sulawesi (Kern 1989; Andi Zainal Abidin 1974). Cerita ini dilegitimasi oleh penguasa yang berhubungan dengan Luwu’. Contohnya dari Sa'dan Balusu dan Tallu Lembangna. Keturunan dari Tongkonan Galugu Dua di daerah Sa'dan memiliki silsilah enam belas generasi, yang menggambarkan Andi Tendriabeng (Bug.: We Tendriabeng), saudari Sawerigading, menikah dengan Ramman di Langi' dari Tongkonan Punti di Sesean.. Lima generasi kemudian, dua saudara laki-laki, yang kedua-duanya disebut Galugu (Galugu Dua)adalah bagian dari To Pada Tindo (untulak buntuna Bone), menentang invasi oleh penguasa Bone, Arung Palakka, pertengahan abad ketujuhbelas.
Di sebelah selatan, kisah Sawerigading diceritakan oleh Sando Ne’ Tato' Dena' dari Mandetek di Ma'kale (To Minaa Sando atau memimpin imam Aluk To Dolo); dan dari, Indo' Somba, dari Kandora di Mengkendek. Kandora kelihatannya memiliki suatu asosiasi yang kuat sekali dengan Sawerigading, Contohnya dalam wujud suatu lumbung di  Potok Tengan berisi batu pusaka, yang disebutkan adalah La Pindakati dari Cina yang menjadi batu, istri Sawerigading yang pertama. Batu pusaka itu dibawa oleh putri La Pindakati Jamanlomo atau Jamallomo, yang menikah dengan Puang Samang dari Gasing (suatu gunung di daerah Ma'kale). Dalam karangan Salombe’, ditekankan Jamallomo, yang adalah keturunan dari Batara Guru, hanya boleh dinikahi oleh keturunan To Manurun. Puang Samang, merupakan keturunan Tamboro Langi', To manurun dari Toraja (yang diklaim di daerah ini turun di Buntu Kandora), Jamallomo kembali bersama Puang Samang ke Toraja, di mana mereka mendirikan Tongkonan Dulang pada Potok Tengan (Salombe' 1975:276-277).




To Manurun dan To Bu’tu Ri Uai: Nenek Moyang To Manurun
(Roxana Waterson)
 Di Tana Toraja, ide To Manurun, mitos yang menceritakan seseorang yang turun dari langit ke puncak-puncak gunung dan menjadi para penguasa lokal, Toraja Tomanurun selalu dipasangkan dengan satu pasangan dengan sama hal-hal yang gaib, seorang wanita yang bangkit ke luar dari suatu kolam/sungai. Kesu mengklaim To Manurun Manurun Di Langi’ adalah nenek moyang yang paling penting, sementara di Tallu Lembangna, Tamboro Langi' (Toma’ Banua ditoke’, Toma’ Tondok dianginni) lebih penting. Bagaimanapun bangsawan-bangsawan dari kedua area ini telah mengklaim bahwa Tomanurun mereka adalah pusat pemerintahan. Mereka tidak sependapat jika ada yang mengatakan bahwa To Manurun berasal dari bagian barat (Ullin).
Salah satu perbedaan  yang spesifik adalah tempat dimana pertama kali Tamboro Langi’ diturunkan. Menurut tradisi-tradisi bagian barat, ia turun di Ullin, suatu puncak di daerah Banga, dan membangun rumah di sana dengan istrinya, Sanda Bilik, yang muncul dari pertemuan sungai Sa'dan dan sungai Saluputti. Ullin juga dihubungkan dengan deata, yang dikatakan berkumpul ke sana tiap-tiap tahun setelah panenan.
Bangsawan di Tallu Lembangna, bagaimanapun, cenderung untuk mengaku Tamboro Langi’ tidak diturunkan di Ullin, tapi di Kandora. Beberapa versi mengatakan ia kemudian pindah ke Ullin, dan yang lain bahwa ia hanya di Kandora dan tidak pernah pergi ke barat sama sekali.
Tongkonan Layuk pada tiap area mempunyai kisah – kisah sendiri tentang para nenek moyang dan kejadian-kejadian hal-hal yang gaib. Contoh-contoh yang berikut dikumpulkan di daerah Saluputti, terutama Malimbong. Ullin membentuk suatu segi tiga dengan dua gunung yang lain mencapai puncak yang kelihatan dari Malimbong: Sado'ko' dan Messila. Di samping Tamboro Langi' dari Ullin, nenek moyang penting di silsilah-silsilah Saluputti adalah Gonggang Sado'ko', yang turun di Sado'ko' dan menikah dengan wanita yang muncul dari kolam yang bernama Marrin di Liku. Dalam sebuah cerita Gonggang diklaim sebagai manusia yang pertama di atas bumi di Toraja bagian barat, dan memiliki enam belas anak-anak, sebagian memiliki nama-nama dari dewata-dewata dalam versi Toraja. Alm. Mangesa mantan Kepala Desa Malimbong (1965-71), yang mengakui dirinya keturunan generasi yang ke sebelas dari Gonggang, menurutnya karna memelihara kekuatan supranaturalnya, sehingga Gonggang masih hidup pada waktu invasi Arung Palakka. Tetapi di dalam silsilah-silsilah dari beberapa orang di Ullin, ia bukan To Manurun, tetapi sebagai cucu laki-laki Tamboro Langi'. Gunung yang ketiga, Messila, juga dihubungkan dengan Tomanurun, Kila' Ta'pa ri Ba'tang. {Menurut silsilah mereka yang berasal dari Lion, Rorre dan Lemo, Makale Utara, Puang Kila’ Ta’pa Ri Batang menikah dengan Marring di Liku dan memiliki 4 orang anak masing-masing Sadodo’na’, Batotoi Langi’, Pulio dan Palandangan. Palandangan lalu menikah dengan Batan di Lomben melahirkan Arung (Pangala Tondok di Rorre), Para (Pangala Tondok di Lemo) dan Lembu’bu’ yang kemudian menikah dengan Patantan dan melahirkan Saarongre yang menjadi Pangala Tondok di Lion Tondok Iring.}
Hanya sedikit yang diketahui tentang Tomanurun ini, tetapi menurut Isaak Tandirerung, mantan Camat dari Ulusalu, ia turun agak belakangan dibanding Tamboro Langi'. Ia menikah dengan seorang wanita kolam dan membangun rumah di Messila (yang tidak lagi ada), dan keturunan-keturunannya kemudian mendirikan Tongkonan Pattan, Tongkonan Layuk di Ulusalu, dari mana Isaak berasal.
Di desa Malimbong pada waktu dari ambil alih Belanda, ada dua Tongkonan Layuk yang bersaing mana yang paling utama, Pasang dan Pokko', dekat Sawangan. Silsilah Pasang memulai dengan Gonggang Sado'ko', Pokko dengan nenek moyang yang lain yaitu Pa'doran. Keturunan-keturunan dua Tongkonan ini cenderung untuk memperbesar pentingnya nenek moyang mereka sendiri, selagi menertawakan kisah-kisah tentang yang lain. Pa'doran dikatakan dilahirkan dua generasi setelah Gonggang, tetapi juga memimpin pasukan Gonggang di dalam peperangan melawan terhadap Bone. Ia bukan to manurun, tetapi to mendeata, karena ia telah menerima kuasa-kuasa dari deata dalam mimpi. Ia bisa berjalan beberapa mil-mil di dalam suatu langkah dan mempunyai kekuatan supranatural. Jika ia berdiri di Sado'ko', ia bisa menjangkau Messila di dalam suatu langkah, dan dengan langkah ketiga berada di Ullin.
Beberapa cerita tentang Pa'doran dihubungkan dengan fitur lokal dari daerah sekitarnya. Segala hal yang ia katakan akan terjadi. Ketika ia berkata, "Kerbauku adalah besar", dengan segera menjadi mahabesar, dan ketika ia berkata, "Kerbauku akan membuat suatu gunung dengan tanduknya", kerbau mengombang-ambingkan kepalanya dan menanduk dua kerut yang besar dengan tanduknya. Bukit ini kemudian diberi nama disebut Buttu Susu, suatu daerah di Malimbong. Di dalam versi yang lain, tandukan kerbau itu menjadikan Buttu Susu, Bea dan Matande; galiannya membentuk gunung yang disebut Gattungan, dekat Buttu Susu. Pa'doran tidak pernah menikah. Ia benci untuk busuk pada kematian, dan sebagai gantinya ia menyuruh keluarganya untuk membuat suatu keranjang yang khusus untuk dia. Ia lalu memanjat ke dalamnya dan berubah menjadi batu. Keranjang ini masih disimpan di dalam tongkonan Pokko', dan hanya dapat dilihat jika ada upacara sesaji. Penduduk meyakini bahwa ketika satu gemetaran bumi dirasakan di sini, ini berarti bahwa Pa'doran sedang keluar dari keranjang untuk berjalan-jalan, lalu koin yang berderik terdengar di dalam rumah.
Satu lain kepada manurun di Malimbong dihubungkan dengan tongkonan pada Parinding di Sa'tandung.  Batotoilangi' (Muncul dari langit) menikahi seorang wanita yang bernama Mandalan i Limbong, yang muncul dari mata air alami, yang sampai sekarang masih digunakan sebagai mata air oleh penduduk desa di Parinding. Mereka mempunyai delapan anak. Suatu hari, Batotoilangi' diserang oleh bau dari pemangangan daging anjing, dan ia pun kembali ke langit, sedang istrinya kembali ke air. Banyak pamali dihubungkan dengan rumah, tidak hanya memakan daging anjing, tetapi juga tikus (tikus ladang dikonsumsi dibeberapa bagian di Toraja), keong-keong, atau daging dari pemakaman. Juga terlarang untuk meludah di lokasi rumah. Pasangan pendirian hal ini, menurut penghuni- rumah, hidupsekitar sebelas generasi yang lalu, pada waktu yang sama seperti  Gonggang Sado'ko'. Sebelum pergi, Batotoilangi' memberitahu orang-orang bahwa mereka akan tahu ia masih di sekitar ketika mereka mendengar guntur atau ketika hujan. Jika seekor ayam dikorbankan di sini, bahkan di musim kemarau, konon gerimis turun. Ketika pelangi, selalu muncul dengan salah satu ujungnya pada lokasi dari rumah yang asli, meregang diatas pohon banyan yang tumbuh di sampingnya. Jika keturunan-keturunan dari rumah melihat suatu pelangi setelah membuat sesaji, ini berarti bahwa Batotoilangi' dan deata sudah menerimanya. Di masa. lalu, tongkonan memiliki banyak budak berkait dengannya, yang semua tinggal di bukit dimana tongkonan itu berdiri.
Tidak susah untuk melihat bagaimana dongeng ini dan kisah-kisah, silsilah-silsilah dijadikan kekuatan politis dari tongkonan bangsawan, yang dilayani untuk mengangkat dan membenarkan status kebangsawanan mereka. kisah – kisah mistik lebih lanjut ditambahkan pada harta benda/pusaka-pusaka rumah ini (sampai para anggota generasi yang lebih muda menyerah kepada godaan untuk menjual sebagian dari barang – barang kepada penyalur-penyalur seni yang internasional). Apakah para pahlawan mereka adalah manusia nyata, atau apakah kisah-kisah itu diciptakan pertama dan nama-nama yang ditempelkan kemudian di dalam silsilah-silsilah, yang mustahil untuk ditebak. Seperti Pa'doran atau Batotoilangi', sudah sangat melokalisir reputasi-reputasi; yang lain seperti Tamboro Langi' atau Laki Padada, mempunyai suatu ketenaran yang menyebar luas dan dihubungkan dengan banyak tongkonan bersama-sama. Hubungan ini pada waktu tertentu dipertunjukkan dan diperbaharui di dalam upacara-upacara, seperti ketika pada Bulan Januari 1983, diatas 100 kelompok keturunan dari tongkonan yang terkenal pada Nonongan yang dikumpulkan untuk merayakan pembangunan rumah tongkonan. Tidak banyak Toraja dapat melacak koneksi-koneksi pada  rumah ini dan pendirinya, Manaek, tetapi maka kaleng keluarga-keluarga yang kerajaan dari Luwu', Goa dan Bone, semua mengutus wakil-wakilnya di upacara itu. Pihak Luwu' bahkan membawa seekor babi yang sangat besar. Melalui kehadirannya, mereka mengakui keturunan mereka dari Laki Padada, seperti juga hubungan mereka melalui perkawinan dengan orang golongan lain dengan kebangsawanan Toraja.

To Manurun = Nenek Moyang yang tidak diketahi asal usulnya sehingga selalu dikatakan berasal dari langit ( ade’ nakua tau )


Entri BlogPERANG KOPIMay 20, '08 12:57 PM
untuk
PERANG KOPI
Suatu penyerbuan Bugis yang diingat di Toraja adalah peperangan yang dilancarkan di sekitar 1890, ketika pedagang Bugis dari Sidenreng memulai berusaha untuk merebut kendali dari kopi Toraja yang menguntungkan para pedagang dari Luwu'. Sedenreng ingin mengalihkan perdagangan kopi dari pelabuhan Luwu ke pelabuhan barat Sidenreng yaitu Pare-Pare. Pasukan dari Sidenreng, yang diperintah oleh Ande Guru, memasuki Toraja tahun 1885 dengan beberapa dukungan dari pemimpin-pemimpin Toraja yang juga ingin menentang Luwu' yang lebih dari 10 tahun menikmati hasil perdagangan kopi.. Luwu' pada akhirnya meminta bantuan dari Raja Bone, sekitar 1897 Raja Bone mengirim kekuatan yang besar ke Toraja via Palopo, yang dipimpin oleh putranya, Patta Punggawa (Bigalke 1981:49-58). Pasukan ini, menggunakan kuda dan bersenjata senapan yang modern, yang dalam memori Toraja disebut Passongkok borrong atau "kopiah-kopiah merah".

Entri BlogPENYEBAR ALUK SANDA PITUNNA May 20, '08 12:55 PM
untuk
PENYEBAR ALUK SANDA PITUNNA
( 7777777 = 7 Lise'na, 7 pulona, 7 ratu'na, 7 sa'bunna, 7 kotekna, 7 tampangna,7 sariunna.)
Ada yang mengatakan Aluk 7777

  1. Pondappadang / Pongkapadang menyebarkan Tradisi Burake Tattiu’ di daerah Barat yaitu Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga) " to unnirui' suke pa'pa, to ungkandei kandian saratu
  2. Pasontik menyebarkan Tradisi Burake Tambolang di daerah Timur yaitu Bastem, Ranteballa, Ta’bi Bolu, Ta’bi Maindo, Palopo) " To Unnirui' suke dibonga, To Unkandei kandean pindan"
  3. Tangdilino’ menyebarkan Tradisi Burake Manangnga di Toraja " To Unniru'i suke dibonga, To Ungkandei kandean pindan".

Entri BlogOSSORAN TEMPON DAOMAI LANGI'May 20, '08 12:53 PM
untuk
OSSORAN TEMPON DAOMAI LANGI'
(naosso' Ne' Mani', to minaa daomai Sereale)
H. VAN DER VEEN
The Merok Feast of the Sa'dan Toradja en The Sa'dan Toradja Chant for the
Deceased (VKI 45/1965 en 49/1966).

  1. Langi'mo mula-mulanna sola tana. Nagaragai ampunna tana,ampunna lino. / Sirampanammi kapa' langi' na tana. Dadimi tau a'pa',iamo tu: disanga Puangdilalundun, disanga Labiu-biu, disanga Indo' Ongon-Ongon, disanga Simbolongpadang. /
  2. Malemi Simbolongpadang sirampanan kapa' Riba'. / Unggaragami kila', unggaragami sanda kadake, sisarakmi langi' na tana. / Ma'kornbongammi tu tau tallu, nakua: "Unggaragamo kadake siulu'ta — na mindamoki' ungkambi' tutungan bia'?" / Disituru'imi tu Labiu-biu ungkambi' tutungan bia'. /
  3. Malemi tu Indo' Ongon-Ongon rokko to kengkok, sirampanan kapa' Pong Tulakpadang. / Unggaragami lino', usseno padang, unggaragami angin, unggaragami bongi. / Malemi Puangdilalundun langngan langi' sirampanan kapa' Gauntikembong, dadimi Pong Bero-Bero. /
  4. Unggaragami bintoen, unggaragami bulan, unggaragami allo. / Iatonna dolona, masiang bangpa — tae' allo, tae' bongi. / Sirampanammi kapa' Arrangdibatu na Pong Bero-Bero. Dadimi Puang Matua Dolo disanga Puang Tongkon. /
  5. Sirampanammi kapa' Puang Tongkon tu Tumba' Paparilangi'. Dadimi Puang Matua, To petiro aluk, dadi Indo' Samadenna, dadi Barrangdilangi'. / Malemi tama bulan Indo' Samadenna, male tama allo Barrangdilangi'. / Untiromi kuli'na langi' Puang Matua — manippi'pa kuli'na langi' tonna dolona./
  6. Iatonna dolona dao langi', piong ba'tan bangpa dipobo'bo', dena' dipomanuk. / Dirtunnukmi riti bulaan, die'te'mi kala'siri lambe'. Kombongmi sauan sibarrung, ombo'mi tandasan sikori-kori. / Disondokammi sauan sibarrung daomai sepena langi'; ditampami kuli'na langi', disanga Patalabunga. /
  7. Tiballa'mi rante masangka', tidandanmi buntu malangka'. / Ditampa nene'na batu disanga Patalabintin. / Ditampami aluk 7 lise'na, 7 pulona, 7 ratu'na, 7 sa'bunna, 7 kotekna, 7 tampangna,7 sariunna. /
  8. Malemi nene'na sakke untongkonni sumengana lombok./ Diembongmi bulaan tasak sola nene' tang karauan. / Iamo ditampa nene'na bo'bo', disanga Bumbunganrante, diganti Datu Lamemme'./ Ditampami nene'na to lino, Datu Laukku'; nene'na tominaa La'langlangi', diganti Kambunolangi'. /
  9. Ditampa nene'na to indo', Datu Mengkamma' (Karaeng Ma'loko-loko). /Ditampa nene'na to burake, disanga Killi'-Killi'. / Nene'na to ma'gandang, disanga Mandaikama. / Nene'na kaunan, disanga Pottokalembang, iamo to dipotedong-tedong uma, to dipokarambau tempe'. /
  10. Tae'pa sambo boko'na tonna dolona. / Ditampami nene'na sampin, disanga Ungku, Rambutikembong tungka sanganna. / Rindingnami, sikasiri' datu, sikatumpu' ampu lembang. / Ditampami nene'na serre', disanga Datu Parerung. / Ditampami nene'na pangngan, disanga Kaise'. /
  11. Ditampami nene'na punti, disanga Datu Marorrong; nene'na tallang, disanga Kumirrik; nene'na ao', disanga Ma'buku bulaan; nene'na induk, disanga Monggo; nene'na sendana, disanga Labengnga'; nene'na manuk, disanga Lua'kollong; nene'na asu, disanga Buriko'; nene'na bai, disanga Riwati; nene'na tedong, disanga Manturiri; nene'na ipo, disanga Datu Merrante, Allotiranda tungka sanganna; nene'na bassi, disanga Riako'. /
  12. Malemi nene'na sendana ma'rampanan kapa' rekke tampona limbong, sirampanan kapa' Sendana Balo'. / Tang sandami rampanan kapa', iami sirampanan kapa' te anakna sauan sibarrung; untumangmi Datu Laukku' bomboan. / Nakande solanami manuk, katotok-totok lako sangserekanna, disangami Puang Maro. /
  13. Urnbaliangammi batu ba'tangna Puangdilalundun, nakua: "Ba'tu la manannang tana' siai ungkambi' tutungan bia' siulu'ku?" / Dilando lalannimi Labiu-biu sola Adang Mangkakalena"'. / Kendekmi Labiu-biu patutungan bia', ba'tan bangpa tu naposuru' sola dena'. /
  14. (Paami Datu Laukku', dibura' passakke deata, nakua: "Misami pulu'-pulu' pare,misa simanui tedong.Paami sanda mairi',naarrang tutungan bia'."Susinta to lino, ke denni salata, naarrangki' tutungan bia' — ko la paa batang dikaleta./
  15. Malemi nene'na manuk sirampanan kapa' manukna Pong Pirikallo, londongna Pong Ondouai, manuk dadi lanmai kurin-kurin gallang, ombo' rikusi bulaan. / Dadimi tallo' siannanan, bamburang sikaruan. / Randukmi petanda masiang, nene'na manuk. / Randukmi nene'na bo'bo' umpangidenni pare bu'tu ri Tombang, pare to manglaa tedong. /
  16. Randukmi nene'na manuk dinaran lolokna banni' rekke ulunna langi'. / Randukmi diborong-boronganni nene'na manuk: lotong: kambi'na rampanan kapa'; karurung: diposuru' kale; koro: kambi'na lemba kalando; rame: kambi'na sakke malino; lette'  riri: kambi'na tallu bulinna; seppaga: kambi'na alang dibando;
  17. burï: kambi'na ma'belo tadi; buri'tik: kambi'na tengko randuk; uranuran: kambi'na kombong masirri (induk); bu'ku': kambi'na doko maripi'; bulu tui: kambi'na ma'bala tedong; sa'pang: kambi'na datu matasak; lappung mabusa baba'na: kambi'na raukan tedong; pute: kambi'na tananan bua', ungkambi' lumbaa langi'; bullau: dipopetangka' ura'. /
  18. Tiborongmi nene'na manuk. / Randukmi dipotangkean suru'. / Bendanmi suru'na uase to pande sola bingkung to manarang. / Malemi tama pangala' tamban Puang Paonoran, nakua: "Kayu apako te?" Nakuami mebali: "Kayu uru, dikombong pandoko dena'." Tae'pa nadisanga banua. Nakuaomi: "Kayu apako te?" Nakuami mebali: "Kayu betau". / Napasandami rere'na, napaganna' sanda karua. /
  19. Napamuntui uase, napamuntui bingkung; apa manokapa ma'lingka. / Napatongkonmi dao kalandona buntu, untaan angin ma'kada tau. / Ma'kadami tu angin, nakua: "Ma'apako dao kalandona buntu, Puang Paonoran?" Mebali Puang Paonoran, nakua: "Inde kayu betau la kugaraga tau, apa tang ma'ulelean. La kutaanpa tu angin ma'kada tau, kupatamai batang dikalena." /
  20. Nakuami angin ma'kada tau: "Den manii aluk musala, kumallaimo lan mai batang dikalena, mukuami: Mutoeanna' massangpali' rengnge'." / Nakuami Puang Paonoran ma'kada: "Dolo sala, undi mangaku, namakamban kande mammi'na Puang Matua." /
  21. Nakuami angin ma'kada tau: "La ma'uai ma'tanmo' lan batang dikalena to, la ma'sakke tang tisenggongmo' lan tondon to batangna." / Sisulu'mi basse kasalle, angin ma'kada tau na Puang Paonoran, unnindo'mi pandan kabusungan. / Moi api sisulu' duka basse Puang Paonoran, nakua: "Pasambiri matako manii lako bangunan banua." Nakuami api: "Aa . . tontongna' diposukaran aluk, ke denni kapemalaran la . . . . " /
  22. Sirampanammi kapa' anakna sauan sibarrung te kayu betau, sisangami sampu pentallun. / Dadimi anakna disanga Pande Patangnga'; unggaragami tandung tiulunna langi'. / Dadimi Pande Paliuk, unggaragami bangunan banua. / Nene'na tedong male ma'rampanan kapa' disanga Tele'pupu. /
  23. Malemi Datu Laukku' rekke ulunna langi' sirampanan kapa' Kandomatua, ampona Pong Buatabang, nalolongi kada minnak. / Dadi Indo' Pare'- Pare' ungkambi' parekkean para, napotekken battu to. / Indo'na Manapa' ungkambi' surasan tallang. / Indo' Roatumbang ungkambi' bate manurun. / Landosamara ungkambi' raukan tedong. / Lua'toding ungkambi' tananan bua'./
  24. Randukmi diboronganni tu sendana, naboronganni Pong Mulatau. / Sendana balo' ungkambi' surasan tallang. / Sendana lumu', ungkambi' tetean tampo. / Sendana dongka kumpang rampe matampu'. / Sendana lalong umpetajanni kakena bamba sola tarangga masiak./Sendana sugi' ungkambi' raukan tedong./ Sendana bonga malute ditoto parangka dialuk sola patangdo, ke denni tananan bua'. /
  25. Diboronganni tu nene'na tedong. / Sambao': napopendio' talla' to ponto litakan, sulemi sangdunduan pindan. / Bulupunte' kambi'na raukan tedong. / Kullu kambi'na tananan bua'. / Pundulillin kumpang lako rampe matampu'. / Todi' sikambi' tana' bassi. / Bonga sikambi' tana' bulaan. /
  26. Kendekmi sangga mairi' daa ulunna langi'. / Malemi Pong Mulatau tama tangngana langi', umpokinallo sukaran aluk, sirampanan kapa' Indo' Gori-Gori. / Dadimi Manurundilangi'. / Umpalumirikmi randanna langi' tangkean suru'. Pariami tangkean suru'. / Dadimi sembangan ongan. /
  27. Bendanmi demmeran para. Paria demmeran para. / Dadimi surasan tallang. / Bendanmi bate manurun. / Bendanmi raukan tedong. Pariami raukan tedong. / Bendanmi tananan bua' dao tangngana langi'. /
  28. Umbungka'mi ba'bana langi' Manurundilangi', ma'banua ditoke', ma'tondok dianginni. / Mailu matami rokko tangngana tasik. Nakua: "Diongri loka' la kunii malua' bingkung. Apa iari, ke napatuo ko'to'na' to kapadanganna diong, ke tang situru'na' kuli'na padang." / Diroromi buntu malangka', dipatendanmi saruran bulaan. / Kombongmi padang di Pongko', ombo'mi padang di Lebukan. /
  29. Nakuami Manurundilangi': "Den omo te kapadanganna, apa tae'pa tu la kupolalan rokko." / Diulingmi eran dilangi', napolalan nene'ta situru' sukaran aluk. / Ia nene'na bai madangli' (mataku') unnola eran dilangi', unnola sepenami langi' nene'na bai, tiranduk ilan di Moriu, sirampanan kapa' Torateda', bai bu'tu ri Kanan. /
  30. Ia nene'na tedong unnola rumassena buntu, tiranduk dio randanna langi', sirampanan kapa' tedongna Indo' Dure'- Dure', tedong mempodongan. / Keampo keanakmi tedong, unnorongimi tasik mapulu'; nene'na tedong tiranduk lan di Sinadi. / Ia nene'ta Manurundilangi' sirampanan kapa' Marrindiliku; undadiammi tau karua./
  31. Misami tang ungkande makula', disanga Ranggauai; iamo disomba tallo'na manuk sola barra' dimamatai. / Malemi Saronglea langngan Bone, asu bangpa nasallang. / Male Datu Mangoting rokko Palopo, asu dukapa nasallang. / Male to tang kumande makula' lako Batuapian. / Male Pong Mulapadang lo' Rantebulaan. / Male Banggairante tama Siguntu'. / Male Pondanpadang tama Lino. / Male Pong Tambulibuntu tama Rura. / Male Tandiminanga rokko liku. /
  32. Malingmi tau lo' Siguntu', sandami torro to kampin. Lindomi lindona Patundu' sola Sangga. / Nakuami to Sarombon, kadanna to Pasangbayu, to lao' bamba Siguntu':"La ma'patumbamo' inde,la ma'ruang diapamo'? Denmo te aluk kusala sangka' kutengkai kalo',kulamban pasala uma.
  33. To malangi' ri bubungan,to tumbang ri papa tallang,bongsu' ri landa banua.To malangi' sao-sao, tumbang salamba-lambana; sao-sao langngan Bone, salamba langngan Balanda. Kenna tang manarang Sangga, kenna tang pande Patundu', ungkita dampinna Bugi', temme' ara'na Balanda." Nakuami to Patundu', kadanna Sanggaiolang: "Ma'dinko mangaku kumba', mangore tanda tinaran, unnaku kande limammu lako to petoe tabang". /
  34. Nakuami to Patundu': "Tambaimoko to Mambo sola to Pong Beloaak. Ia patutungan bia', patandean sulo-sulo." / Rampo ma'rebongan didi, ia mangrampe letokan. / Salana pasandak salu — napopa'indo' tama rebongan didi. Salana ma'liu lima lako to petoe tabang, narebongi didi. Sandami nalindo bulanni, pantan nabarre alloi. /
  35. Sulemi rampanan kapa'. Sulemi mellolo tau. / Sulemi doko maripi', rendenan tedong. / Sulemi tetean tampo, pesungan banne, nakadang tangkean suru', balo'na tutungan bia'. / Sulemi sangga mairi'. /
  36. Bendanmi bate manurun, dipesung manuk, dipesung bai. / Tirandukmi nene' lan lino, tangkean suru' napomatanna lalan, lumepong tondok. / Bangunmi ma'tengko randuk.
  37. Kendekmi kaise' ma'dandan. Saemi naala anakna to kengkok. Natiromi Marampiopadang tu kaise'na, madarang kebongi, namakamban keallo. Unnindanmi dokena Datu Nakka'. /
  38. Naraukmi Marampiopadang tu anakna to kengkok. Nadaka'mi Datu Nakka' tu dokena, tae'mo natiro. / Ussorongmi rendenan tedong sola tetean tampo sola bulaan tasak, napengkanokai Datu Nakka'. / Ma'pasompok sorongmi Datu Nakka'. / Malemi Marampiopadang unnala bambalu toding sola ue sitammu bukunna. /
  39. Randukmi manggaraga buria' Marampiopadang. Nabungkarammi Sampurari mangapi'na tana, ma'tetean ulangmi, ma'pelalan buria' rokko to kengkok. / Saemi rokko lólokna pao. /
  40. Narangimi tu gandangna anak to kengkok. Nakuami Marampiopadang: "Mindara dipa'gandangan?" Nakuami to mangkambi' mebali: "Anakna Pong Tulakpadang dirauk dao langi'. Budamo to ma'dampinna natae' namaleke." / Nakuami Marampiopadang: "Laoko solanna'." Nakuami tu to mangkambi': "Benna' tu pao mai, kulao ussolangkomi."/
  41. Saemi lako tondok, ma'kadami tu Marampiopadang, nakua: "Tae'pi aku tau dao banua, kumane ma'dampi." / Sae langngan banua, nasapu-sapumi, naalai tu dokena sule. / Sulemi kale datunna anak to kengkok, kendek marampa' langngan randanan, urnpotendeng tendengna. /
  42. Dipokadammi saro tu Marampiopadang. Nakuami: "Samamo' misaroi, ke mipalendu'mi samaanna." / Massura' tallangmi; sandami diala tu belona surasan tallang. Natiromi Marampiodang, nakuami ma'kada: "Iamo pole' la saroku: tu belona kapemalaran." /
  43. Mekutanami, nakua: "Apanna ditanan tu mati' punti?" Nakuami: "Oto'na". / Mekutanaomi tu Marampiopadang, nakua: "Na iatu induk?" Nakuami: "Belulukna ditanan." / Mekutanaomi tu Marampiopadang, nakua: "Na iatu sendana?" Nakuami: "Tangkena bang ditoto nadiosok." / Mekutanaomi, nakua: "Na iatu tallang?" Nakuami: "Oto'na bang ditanan." / Mekutanaomi, nakua: "Na apa tu unnoni?" Mebaliomi, nakua: "Gandang". /
  44. Nakuami Marampiopadang, ma'kada: "Iamo pole' la saroku tu mintu'na tu." / Naalami Marampiopadang napatamai buria' tu sarona. Sulemi ma'tetean ulang, untintinmi gandangna. / Nakuami to kengkok: "Sae undampi kande limanna." / Sitammumi tananan mellao langi', tananan bu'tu ri lino. /
  45. Napasulemi tu dokena Datu Nakka'. / Mamba'tami Marampio padang. Saemi uran. Nasembangi Datu Nakka' tu daunna Marampiopadang. Ma'kadami Marampiopadang lako Datu Nakka', nakua: "Pasuleanna' tu daunku, dokemu nakupasulean dukamoko!" Napasulemi Datu Nakka', apa malayumo. /
  46. Ussorongmi iananna tu Datu Nakka', nokaomi Marampiopadang. Batang kalenami Datu Nakka' nasorong. Randukmi napotedong-tedong uma Marampiopadang tu Datu Nakka'. To maluangan batu ba'tangna tu Marampiopadang, nasangami anak. /
  47. Umpala'pa'mi samaanna: ma'parakke para, massura' tallang, merok, ma'bate; pariami; bendanmi tananan bua'. Kendekpa sangga mairï' lan Rura, langnganpa pantan sola nasang. / Randukmi sirampanan kapa' Bombongberu' na Mellaolangi', napatudu leko' Pong Marattiatinting, nakua: "Dadimo anakmu baine sia muane, Londongdirura; pasirampananni kapa'." /
  48. Sengkemi Puang Matua, nakua: "Umbamo papa rara'na tu to misa dikombong, dipasirampanan kapa'?" / Apa mandappi'pa langi' sola tana tonna dolona. / Nakuami Londongdirura: "Indemo tananan bua' papa rara'na." /
  49. Nalambi'- mi pangandaran, tallanmi rokko liku to disalampe maniki. / Lampungmi Sokko Kalale' sola Indo' Pare'-Pare'. / Lampungmi tarukna La'bi Tombeng lako randanna langi'. / Karapa natang bendanpa eran dilangi', naola to situang tanduk langngan ba'tangna langi' . . . . /
  50. Nakuami Puang Matua: "Umbako situang tanduk?" Mebalimi nakua: "Natumangkan kami Pong Marattiatinting." Nakuami Puang Matua: "Ina'pa kusanda malambi'. Lando lalanniko, Suloara' sola Buauran rekke ui'na padang di Sesean. Mupa'sarrinni sanda kadake Pong Marattiatinting sola Pong Marattiabonga.
  51. Baai te kalosi kalebu, kalosi sangpiak, kalosi sangtepo, kalosi sangdaluk. / Ia la unnissan sampu pissan, sampu penduan. La mutanan tu kalosi. Ianna tuo tu kalebunna pamanda'i lan rampanan kapa' to siulu'. Ianna ia tuo tu sangpiakna, sampu pissan. Ianna ia tuo tu sangtepona, sampu penduan." / Pakalan sanglesona manna tuo na sangdalukna. /
  52. Pakalan rampomi Suloara' sola Buauran patutungan bia'. / Rampomi ma'rebongan didi. Malingna Bombongberu' sola Mellaolangi' napopa'indo', tama rebongan didi. Balo'mi tutungan bia'. /
  53. Sulemi Sokko Kalale' sola Indo' Pare'- Pare' nakadang tutungan bia': Ma'bua'mi Pondanpadang ,la'pa'mi Buntuarroan .Ia bua' dipasarra', samaa ditulu-tulu. Iamo bua' tang damma', samaa tang beluakan. Lao' bambana Lembang, kendekmi sangga mairi', naria tananan bua'.
  54. Randuk tumengkami nene', tumengka sola alukna, lao sola bisaranna. Rampo ribamba Marinding, rampo ma'rampanan kapa', lako nene' Buenmanik. Nasalungan kada minnak,naria kada tangguli. Tumampa-mampami rara'. rumende-mende sarapang. Dadi taruk bulaanna.
  55. Dadimi Tangdililing, Pasontik, Pong Seppabulaan, Pong Kalolokna sola Pussabannangna. / Iamo umbangun banua tu Pong Kalolokna sola Pussabannangna. Namale unnala tedong tama pangala'. / Nakuami Beka'-Beka' sola Maradonde': "Saemo ambe'ku umbaa tedong sola banua." / Male Pong Seppabulaan unnala bai rokko Moriu, nasanga burana lemba kalando. /
  56. Napariaimi tangkean suru', natana' sarri', namasirri makamban. / Bendanmi sembangan ongan dialami ampo anakna susu ma'dandan, tang tirambanmi sangserekanna. Pariami sembangan ongan. /
  57. Bendanmi surasan tallang. Paria surasan tallang. / Bendanmi raukan tedong. / Bendanmi bate manurun. Paria bate manurun. / Bendanmi tananan bua' lo' padang di Marinding.


Entri BlogDaerah Adat di Tana TorajaMay 20, '08 12:36 PM
untuk
Daerah Adat di Toraja

  1. Kesu' (Panta’nakan Lolo),Pusat Penyebaran Aluk Sanda Pitunna setelah daerah Tallulembangna memakai Aluk Sanda Saratu’ yang dibawa oleh Tamboro Langi’. Pabane’, anak dari Tangdilino Banua Puan menikah dengan Ambun di Kesu’ anak dari Puangri Kesu’.
  2. Tikala
  3. Buntao' (Patang Penanian) Tomisa’ Ba’bana, Tomisa’ Ulunna
  4. Rantebua' (Pitung Penanian)
  5. Tondon
  6. Nanggala , digente’ To Annan Karopina Na Lili Misa Babana
  7. Balusu
  8. Sa'dan
  9. Pangala'
  10. Dende'
  11. Madandan
  12. Piongan
  13. Kurra'
  14. Ulusalu
  15. Seseng
  16. Bittuang
  17. Pali
  18. Ratte
  19. Balepe'
  20. Malimbong
  21. Talion
  22. Ma'kale, Annan Penanianna, Karua Bua’na
  23. Sangalla', Limbu Apana dan To Sereala Penanianna (gabungan empat Komunitas adat besar yang terdiri dari 12 komunitas basis)
  24. Mengkendek
  25. Mappa'
  26. Buakayu
  27. Rano
  28. Simbuang
  29. Bau
  30. Banga
  31. Palesan
  32. Tapparan


DAFTAR NAMA TO PADATINDO, TOMISA’ PANGIMPI
UNTULAK BUNTUNNA BONE
ULLANGDA’ TO SENDANA BONGA
(Melawan Invasi Bone setelah mereka mengadakan Kombongan di Pata’padang, Sarira)
  1. Pong Kalua’ (Penaa Batu Laulung)    Randan Batu
  2. Sanda Kada (Rangga Lila)                Limbu
  3. Pong Songgo (Bandangan Matipa)    Limbu
  4. Karasiak            Madandan
  5. Lando Aak            Boto’
  6. Batara Langi’        Boto’
  7. Ambabunga’        Bombongan
  8. Pong Boro Tua        Maruang
  9. Tumbang Datu        Bokko
  10. Patobok            Tokesan
  11. Kondopatalo        Lampio
  12. Paliun            Batualu
  13. Pagonggang        Batualu
  14. Bongi            Batualu
  15. Ne’ Lello            Leatung
  16. Tomorere’            Gantaran
  17. Palondongan         Simbuang
  18. To Gandang        Sarapung
  19. Pagunturan        Bebo’
  20. Tikuali            Ba’tan
  21. To Bangkudu Tua        Malenong
  22. Takia’ Bassi        Angin-Angin
  23. Patabang Bunga’        Tadongkon
  24. Salle Karurung        Paniki
  25. Kattu            Buntao’
  26. Palinggi’             La’bo’
  27. Sa’bu’ Lompo        Bonoran
  28. Ne’ Pirade            Tonga
  29. Patasik / Pong Tasik    Pao        
  30. Ne’ Malo’             Tondon
  31. Poppata’            Nanggala
  32. Patora Langi’        Langda
  33. Ne’ Patana            Kanuruan
  34. Bannelangi’        Kadundung
  35. Tibaklangi’            Saloso
  36. Ne’ Kalelean        Rorre
  37. Banggai            Salu
  38. Songgi Patalo        Lemo
  39. Arring lan di Deata    Mandetek
  40. Lunte            Mariali
  41. Rere’            Lion
  42. Saarongre            Tondok Iring
  43. Baanlangi’            Lapandan
  44. Marimbun            Bungin
  45. Panggeso            Tiromanda
  46. Sando Pasiu’        Pasang
  47. Tolanda’            Santung
  48. Bangke Barani        Manggau
  49. Parondonan        Ariang
  50. Sundallak            Burake
  51. Panggalo            Lemo Pa’buaran
  52. Bara’padang        Gandang Batu
  53. Pong Arruan        Sillanan
  54. Pong Dian            Tinoring
  55. Tobo’            Tampo
  56. Pong Barani        Marinding
  57. Pong Turo            Baturondon
  58. Puang Balu        Tangti
  59. Kulu-kulu Langi’        Palipu’
  60. Darra Matua        Tengan
  61. Sarangnga’            Lemo Mengkendek
  62. Tanduk Pirri’        Ala’
  63. Pokkodo            Tagari
  64. Kundubulaan (Mendila)    Sa’dan
  65. Pangarungan        Tallunglipu
  66. Taruk Allo            Tallunglipu
  67. Tengkoasik            Barana’
  68. Ne’ Rose’            Sangbua’
  69. Lotong Tara        Bori’
  70. Allopaa            Kayurame
  71. Rongre Langi’        Riu
  72. Tangkedatu        Buntu Tondok
  73. Tolangi’            Pongsake
  74. Mendila Kila’        Rongkong
  75. Ne’ Darro            Makki’
  76. Ne’ Mese’            Baruppu’
  77. Sarungngu’            Pangala’
  78. Bongga            Pangala’
  79. Usuk Sangbamban    To’tallang
  80. Ambe’ Bando’        Awan
  81. Ledong            Bittuang
  82. Patikkan            Bambalu
  83. Gandanglangi’        Mamasa
  84. Ne’ Darre            Manipi
  85. Pong Rammang        Piongan
  86. Tandiri Lambun        Tapparan
  87. Batotoi Langi’        Malimbong
  88. Tandirerung        Ulusalu
  89. Pakumpang        Sangalla’/Buntao’
  90. Pong Manapa’        Se’seng
  91. Tokondo’            Buakayu
  92. Mangngi’            Rumandan Rano
  93. Mangape            Mappa’
  94. Pappang            Palesan
  95. Batara Bau            Bau
  96. Pong Bakkula’        Redak
  97. Tangdierong/Todierong    Baroko
  98. Bonggai Rano        Balepe’
  99. To Layuk             Simbuang
  100. Patittingan            Talion
  101. To Isangan            Tanete (Rano)
  102. Sodang            Ratte Buakayu
  103. Lapatau            Tombang Mappa’
  104. Torisomba            Garappa’ Mappa’
  105. Sege’            Bassean Endekan
  106. Mangopo            Sima Simbuang
  107. Ponipadang        Makkodo Simbuang
  108. BAlluku’            Batutandung Mamasa
  109. Massanga            Pana’ Mamasa
  110. Karrang Bulu        Mala’bo’ Mamasa
  111. Buranda            Tondon Kuang Batualu
  112. Sombolinggi’        To’Katapi Papa Tallang Batualu
  113. Agan            Buntu Doan Batualu
  114. Sanggalangi’         Pantilang
  115. Talibarani            Bokin
  116. Pong Sussang        Ke’pe’ Ranteballa
  117. Paressean            Karre
  118. Emba Bulaan        Sikapa Ranteballa
  119. Arrang Bulawanna        Lemo Ranteballa
  120. To Pajaoan            Kandeapi Ranteballa
  121. Puang Direngnge’        Tabang Ranteballa
  122. Bakokang            Lantio Ranteballa
  123. Pakabatunna        Sesean
  124. Ne’ Bulu Tedong        Pangala’
  125. Ne’ Tulla’            Kapala Pitu
  126. Padondan            Tikala
  127. Bangkele Kila’        Akung
  128. Galugu Dua        Balusu
  129. To Kalu            Endekan
  130. To Layuk            Baroko
  131. Mara’biang            Bebo’
  132. Pabidang            Buakayu
  133. Masuang            Tangsa
  134. Pauang            Malimbong


Halaman:12